Dalam buku Hadji Agus Salim, The Grand Old Man: Jurnalis, Ulama, Diplomat, salah satunya terdapat tulisan Kustiniyati Mochtar, mantan wartawan harian Indonesia Raya yang pernah mewawancarai Haji Agus Salim menjelang akhir hayatnya tahun 1954. Dalam artikel Kustiniyati berjudul Cuplikan Riwayat Hidup: Agus Salim Manusia Bebas menampilkan pendapat sejumlah tokoh dan putra Agus Salim tentang Agus Salim.  

Bung Karno:The Grand Old Man”, Haji Agus Salim adalah seorang ulama dan intelektual. Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh Haji Agus Salim, sambil duduk nglesot di bawah kakinya. Saya merasa bahagia bahwa saya ini dulu dapat minum air pemberian Tjokroaminoto dan minum air pemberian Agus Salim.

Bung Hatta: … dia itu adalah yang jenius, yang mendapat pikiran-pikiran penting secara tiba-tiba dan mudah saja mengeluarkan sepintas lalu. Sikapnya yang tangkas dan ad rem itu memberikan garam pada ucapannya, biasanya terdapat dalam perdebatan atau tulisan yang menangkis serangan lawan atau dalam pertukaran pikiran yang berisikan lelucon. Di situlah terdapat apa yang dikatakan orang dalam Bahasa Belanda “Salim op zijn best.” Suatu penghargaan yang tepat bagi dia adalah julukan: “Indonesia’s grand old man.”

S.K. Trimurti: Aku pernah duduk bersama Haji Agus Salim dalam kabinet Amir Syarifufin, sekitar tahun 1947. Mungkin karena kesehatannya kurang baik waktu itu, walau ia selalu hadir dalam sidang kabinet, tetapi tidak duduk di kursi seperti orang lain. Ia santai berbaring di kursi malas, yang khusus ditaruh untuknya. Karena ia dalam usia memang paling tua dari para pemimpin ketika itu, maka aku ingat betul, semua orang dia panggil nama saja, baik yang sama-sama menteri maupun Bung Karno. Tetapi suasana terasa akrab.

Prof. Sunario, S.H: Almarhum seorang juris, maka sangat mementingkan adanya bukti. Orang boleh mengatakan apa saja, tetapi aku melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa ia dan keluarganya memang hidup melarat. Dan prestasinya menjalin persetujuan persahabatan dengan Mesir di tahun 1947 sungguh sangat berharga.

H.B. Jassin: Suatu hal yang mengagumkan dari Haji Agus Salim ialah luasnya bacaan yang menjadi santapan rohaninya. Ia ternyata tidak hanya membaca buku-buku politik dan agama saja, melainkan juga buku-buku sastra dan filsafat. Adalah aneh, seorang tokoh agama seperti dia menyenangi buku-buku Nietzche, filsuf jerman akhir abad 19 yang dianggap ateis itu. (Diucapkan H.B. Jassin, tahun 1979, sewaktu keluarga Agus Salim menyerahkan koleksi buku almarhum untuk melengkapi isi perpustaan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin)

Dolly Sudjono Hardjosudiro: Entah dari mana asalnya, tetapi Patje memiliki lagu tersendiri dalam mengaji. Selama ini kami belum pernah mendengar orang lain membawakan ayat suci al-Quran sebagaimana dilakukannya, begitu melankolis, sangat terasa di hati. Dulu yang dapat menirukannya adalah adik saya, Yoyet.

Prof. Schermerhorn: Saya khusus ingat kepada Salim, yang pada suatu hari akan saya undang ke istana sini. Orang tua yang sangat pintar ini seorang jenius dalam bahasa, bicara dan menulis dengan sempurna, sedikitnya dalam sembilan bahasa. Ia hanya mempunyai satu kelemahan, yaitu bahwa selama hidupnya melarat! (dari buku harian Schermerhorn terbit tahun 1970).

M. Zain Djambek: Dalam mempersiapkan keperluan memandikan jenazah anaknya yang sangat dicintainya, Haji Agus Salim mencadangkan sprei atau kain meja untuk disuruh cuci, kemudian akan dijadikan kain kafan. Ketika ada orang yang menyerahkan kain kafan baru dibeli, pemberian ini ditolak sambil mengatakan: “Kain baru dan sebagus ini tak semestinya untuk orang yang sudah mati, cukup kain tua, sebagai pakaian kembali kepada Tuhannya…”

M. Zain Djambek: Suatu waktu Haji Agus Salim memerlukan sejunlah uang untuk membayar sesuatu yang mendesak. Ia berusaha ke sana kemari, berikhtiar dengan mengerahkan segala tenaga, namun ternyata tak berhasil. Pulanglah dia dengan tangan hampa. Ketika ditanya bagaimana usahanya, menjawablah ia, “Saya sudah cari ke mana-mana, segala daya upaya telah saya kerahkan, namun rejeki itu tak juga bersua. Sekarang saya nantikan, sampai ia tiba…”

M. Zain Djambek: Ketika suatu waktu orang ramai mempersoalkan hari raya Maulid Nabi, Isra’ dan Miraj, apakah sebenarnya ada alasan dari Sunnah untuk merayakannya, ataukah hal itu semasa-mata hari raya bid’ah yang tak ada asalnya dalam agama, Agus Salim datang dengan pendirian yang tegas: bahwa yang dikatakan hari raya agama hanya tiga, yaitu Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Tasriq yang tiga. Adapun hari Maulid Nabi, hari Isra dan Mi’raj, bukan hari raya agama, melainkan hari raya dari orang-orang yang beragama.

H. Zamal: Di Cornell University Ithaca, Amerika Serikat, Haji Agus Salim pernah memberi kuliah selama enam bulan (tahun 1953). Ditetapkan kuliahnya berlangsung pada tiap Sabtu, pukul 11.00. Segera ia terkesan bahwa mahasiswa yang hadir cukup banyak, hampir tidak ada yang absen. Bagi Agus Salim, hal ini terasa luar biasa dan agak mencengangkan, sampai ia menanyakan pada salah seorang guru besar. Kepada guru besar itu, Agus Salim mengatakan betapa rajinnya mahasiswa di universitasnya. Dalam tiga kali ia memberi kuliah, tak seorang pun yang abses pada hari Sabtu siang. Biasanya orang-orang muda lain sudah siap-siap merencanakan acara malam Minggu. Guru besar itu tersenyum dan mengatakan bahwa sebenarnya mereka tak istimewa rajin. “Justru karena kuliah diberikan oleh Tuan Haji Agus Salim, maka mereka tertarik untuk datang,” demikian dikatakannya. Kemudian memang ternyata, bahwa para mahasiswa Cornell University, sangat menyenangi sistem Haji Agus Salim dalam memberikan kuliah. Pendalaman tentang cita-cita Islam dan kebudayaan Islam dapat mereka ikuti berdiskusi secara hidup dengan ulama ini, yang lebih menarik lagi ialah ia memberikan kupasan-kupasan berdasar gagasan ilmiah yang logis. Dengan demikian, soal-soal agama menjadi amat menarik dan tak membosankan.(*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan