Sebuah monolog Seroean Kemadjoean pernah dipentaskan di Teater Salihara, Jakarta, 14 Desember 2023. Monolog Seroean Kemadjoean ini mengisahkan Ruhana Kuddus, wanita yang berasal dari Kotogadang, Sumatera Barat.
Pementasan monolog Ruhana Kuddus ini merupakan salah satu dari lima tokoh lainnya yang ditampilkan dalam Festival Monolog 2023 dengan tema “Lima Tokoh di Tepi Sejarah.“
Penyelenggara ingin mengingatkan adanya tokoh sejarah yang tidak berada di pusat perhatian kita, tetapi memiliki peran penting dalam sejarah, salah satunya adalah Ruhana Kuddus dan karena itu ia dianugerahi gelar pahlawan nasional. Ruhana Kuddus juga memiliki kekerabatan keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama.
Ruhana Kuddus dilahirkan 140 tahun lalu, pada 20 Desember 1884 di Kotogadang, Sumatera Barat. Masa itu Ruhana Kuddus, seperti kaum wanita lainnya, tidak memiliki kesempatan untuk mendapat pendidikan resmi dan menjalani takdirnya hanya untuk melakukan urusan rumah tangga. Tetapi Ruhana dengan karunia kecerdasan yang diberikan Tuhan kepadanya mencoba untuk mengangkat harkat wanita melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk wanita.
Sebagaimana diceriterakan oleh Fitriyanti Dahlia dalam bukunya Soenting Melajoe: Roehana Koeddoes, Pejuang Pendidikan dan Perintis Pers Indonesia, Ruhana Kuddus memiliki lingkungan keluarga yang secara ekonomi cukup baik. Bapaknya, Mohammad Rasjad Maharadja, memiliki kebiasaan membaca dan banyak membeli buku serta majalah.
Minat membaca turun kepada Ruhana sejak ia kecil dan bapaknya sendiri memperkenalkan Ruhana dengan huruf, sehingga pada umur lima tahun Ruhana sudah mengenal huruf Latin dan huruf Arab. Ketika Ruhana sudah berada pada usia sekolah, ia tidak bisa masuk pendidikan dasar yang diperuntukkan hanya untuk anak pria. Namun, di usia enam tahun ia tetap belajar dengan bimbingan bapaknya di rumah.

Rasjad kemudian bertugas di Alahan Panjang dan bertetangga baik dengan keluarga Lebi Rajo Nan Sutan, seorang jaksa. Istri Lebi, Adiesa, menyayangi Ruhana yang ketika itu berusia 6 tahun dan mengajarkannya membaca dan menulis. Adiesa berperan besar di dalam menambah kepandaian Ruhana yang tidak hanya terbatas menulis dan membaca, tetapi juga mengajarkannya keterampilan menjahit, merenda dan merajut, kepandaian yang diperlukan untuk wanita.
Kecerdasan Ruhana membuat ia dalam usia depan tahun sudah bisa membaca dan menulis dengan huruf Latin dan Arab. Rasjad pun semakin semangat memberikan bacaan-bacaan kepada anaknya. Ruhana memanfaatkan buku-buku bapaknya dengan minat membaca buku sastra dan politik sehingga pengetahuannya melebihi teman-teman sebayanya yang laki-laki.
Di umur delapan tahun Ruhana sudah didaulat teman-temannya untuk mengajarkan mereka membaca dan menulis. Maka jadilah Ruhana seorang guru kecil yang mengajari teman-temannya membaca dan menulis. Kemampuannya ini membuat sebagian anak laki-laki tidak suka dengan Ruhana karena menganggap aneh bilamana ada anak wanita bisa membaca dan menulis.
Pada 11 Februari 1911, bersama dengan kawan-kawannya, yaitu Hadisah, Rekna Puti, Adisah, Rabai dan Fatimah, Ruhana Kuddus menghimpun 60 orang wanita dari berbagai latar belakang dan tokoh-tokoh masyarakat Kotogadang, termasuk suaminya, Abdul Kuddus, mendirikan perkumpulan yang diberi nama Kerajinan Amai Setia (KAS), yang artinya ibu yang setia dengan tujuan untuk “Memajukan wanita Kotogadang dalam berbagai aspek kehidupan dalam rangka mencapai kemuliaan seluruh bangsa.”
Ruhana Kuddus diangkat sebagai Ketua KAS pertama, dan Rekna Puti menjadi sekretaris perkumpulan. Rekna Puti aktif dalam mengorganisir kegiatan Amai Setia bersama pengurus lainnya.
Di dalam buku 100 Tahun Kerajinan Amai Setia, perkumpulan ini adalah sebuah lembaga pendidikan informal yang pada mulanya menerima murid perempuan maupun ibu-ibu yang tidak pernah bersekolah dan mengajarkan keterampilan seperti menjahit, bertenun dan menganyam.
Di awal kegiatannya, KAS mempergunakan rumah Ruhana Kuddus dan juga rumah neneknya untuk kegiatan mengajar dan belajar dengan biaya yang berasal dari iuran murid serta anggota Amai Setia. Kemudian, karena semakin banyak muridnya, KAS meminjam gedung sekolah Studiefonds Kota Gedang.
Para pengajar diambil dari anggota KAS. Hadisah mengajarkan sendiri kepandaian bertenun. Kemudian bergabung pengajar lainnya di sekolah KAS, antara lain Mahdaniar Mansur, Zaiza dan Leila. Selain kelas keterampilan, KAS membuka pula kelas belajar membaca dan menulis huruf Latin, Arab dan Arab Melayu serta Bahasa Belanda. Selain itu diajarkan pula Agama Islam serta adat-istiadat.
Untuk meningkatkan mutu produknya Ruhana mengumpulkan buku-buku tentang sulaman yang diperoleh dari kawan-kawannya orang Belanda, dan menghidupkan kembali motif-motif lama.
Pada 1912 Ruhana Kuddus membeli benang sulam dan tenun dalam jumlah besar dari penjualnya di Eropa. Pembelian ini dibiayai melalui pinjaman dari bank milik Belanda di zaman itu yang dibayar dari penjualan karya-karya murid-murid Amai Setia. (Sita, Mity dan Judi dalam 100 Tahun KAS)
Hadisah, selain mengajar menenun, juga berperan di dalam memasarkan karya murid KAS. Hadisah memiliki pengalamannya sebagai saudagar sehingga memahami segi pemasaran, terutama memasarkannya kepada isteri-isteri pejabat Belanda yang hanya mau membeli produk berkualitas.
Dalam kegiatannya, patut dicatat KAS telah ikut berjasa dalam memperbaharui seni menenun, mempopulerkan keterampilan membuat “renda bangku” yang diajarkan Mahdaniar Mansur. Produknya laku dijual ke nagari lain bahkan ke luar wilayah Minangkabau, dan disenangi nyonya-nyonya Belanda. KAS juga dianggap memiliki seni sulaman yang artistik dan kemudian dikenal sebagai Sulaman Kotogadang, seperti terawang, suji cair (satin stitch), kepala peniti (French knots) dan lainya.
Produk Amai Setia mendapat kesempatan pula mengikuti Pameran Internasional di Belanda. Popularitas Ruhana dan KAS meningkat melalui tulisan-tulisannya di Soenting Melajoe. Prof. DR. van Ronkel yang bersimpati kepada Ruhanna memperkenalkannya kepada L.G. Westenenk, Assistent Resident terbeschikking.
Oleh Westenenk, Ruhanna dan KAS diberi kesempatan untuk memasarkan produk-produk KAA dengan mengikuti pameran internasional tahunan di Belanda. Meskipun Ruhana tidak jadi ikut ke Belanda, kerajinan KAS dikirim ke Belanda untuk ikut pameran tersebut.
Atas persetujuan pemerintah Belanda, pada Nopember 1913, Ruhana Kuddus diperbolehkan mengadakan lotere untuk mendapatkan dana bagi pembelian tanah. Pada 28 Agustus 1914 hasil lotere yang terkumpul ternyata cukup besar untuk membeli tanah dan kemudian di atasnya dibangun Gedung Kerajinan Amai Setia.
Gedung itu baru selesai di bawah kepemimpinan Hadisah (1916-1937), menggantikan Ruhana yang pindah ke Bukittinggi. Hadisah bekerja keras untuk mencari dana menyelesaikan Pembangunan Gedung KAS karena dana lotere tidak mencukupi untuk membangun Gedung.
Pada 13 Januari 1915 Kerajinan Amai Setia mendapat pengakuan karena memiliki legalitas hukum dari Pemerintah Belanda. Gedung itu kini masih berdiri dalam bentuk muka aslinya dan masih menjalankan kegiatannya serta memiliki galeri yang memamerkan pakaian-pakaian tradisional Kotogadang.
Kemudian Kerajinan Amai Setia memperkuat status hukumnya menjadi Yayasan Kerajinan Amai Setia Kotogadang (YKAS-KG) pada 1979.
Wanita Jurnalis Pertama di Indonesia
Ruhana yang memiliki kemampuan menulis, ingin mempergunakan media cetak untuk mengekpresikan pikirannya. Ia menyadari bahwa melalui tulisan ia bisa memperjuangkan kemajuan kaumnya. Tulisan di surat kabar yang berisi pendapat dan pikirannya bisa tersebar ke lebih banyak orang dan dapat menggugah mereka memajukan kaum wanita.
Ruhana menghubungi Soetan Maharadja, pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melajoe di Padang. Soetan Maharadja bersimpati kepada Ruhana yang ingin memajukan kaum wanita, dan Soetan Maharadja bersedia bekerja sama dengan Ruhana untuk menerbitkan Soenting Melajoe pada 1912, surat kabar khusus untuk wanita.
Soenting Melajoe terbit sekali dalam delapan hari dan selanjutnya menjadi pusat kegiatan kaum wanita dalam menyuarakan pendapatnya di berbagai bidang, termasuk kemudian mendorong kaum wanita berpolitik. (Narza, Herwandi dan Nopriyasman). Menurut Fitriyanti, sambutan terhadap Soenting Melajoe sangat besar dan di luar dugaan.
Karena menerbitkan Soenting Melajoe, Ruhana Kuddus memperoleh gelar Perintis Pers Indonesia, dan mendapat penghargaan sebagai Wartawati Pertama dari Gubernur Sumatera Barat pada 1974. Sebelum diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia, Ruhana Kuddus mendapat Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama atas jasanya terhadap bangsa dan negara pada 2007.(*)
Penulis: Budiarma Bahar