Ketika orang menyebut Sumatera Barat, bayangan yang muncul biasanya adalah keelokan alam, kekayaan adat Minangkabau, dan kuliner yang menggoda. Namun, di balik semua itu, ada satu potensi besar yang jarang mendapat sorotan: perkebunan gambir.

Laporan Penelitian dari Universitas Andalas mengenai komersialisasi Gambir dan Dampak Ekonomi menunjukkan bahwa Sumbar menyumbang hampir 80% produksi gambir Indonesia, sekaligus memasok lebih dari separuh kebutuhan dunia. Setiap tahun, 16 hingga 20 ribu ton gambir dipanen dari nagari-nagari di provinsi ini. Fakta tersebut menegaskan bahwa Sumbar bukan sekadar pemain regional, melainkan bagian penting dari rantai pasok global.

Dari Daun Hijau ke Pasar Internasional

Di tangan petani, daun gambir segar hanya dihargai sekitar Rp3.000 per kilogram. Seratus kilogram daun segar nilainya sekitar Rp. 300 ribu, jumlah yang jelas tidak setara dengan tenaga dan waktu yang terkuras.

Namun, jika melalui pengolahan, nilainya bisa melonjak tajam. Getah gambir bisa dijual Rp. 30 ribu per kilogram. Lebih jauh lagi, jika diolah menjadi tanin dengan kadar ≥70%, nilainya bisa mencapai Rp9,6 juta. Produk turunan lainnya, seperti katekin ≥90%, bernilai Rp4,5 juta, sementara Marker-API ≥99% bisa menembus Rp96 juta hanya dari 100 kilogram daun.

Gambaran ini membuktikan bahwa pertanian modern tidak lagi hanya soal menanam dan memanen. Kuncinya adalah strategi inovasi, pengolahan, dan penciptaan nilai tambah.

Jika dipandang dengan kerangka manajemen strategis, pengembangan gambir membutuhkan arah yang jelas dan terukur. Pertama Kekuatan Sumbar adalah produsen gambir terbesar di dunia, namun kelemahannya Produk sebagian besar masih dipasarkan dalam bentuk mentah. Peluangnya cukup besar yaitu Tren global menuntut produk alami untuk farmasi, kosmetik, dan pangan sehat. Ancaman yang dihadapi adalah Fluktuasi harga dan rantai bisnis yang dikuasai oleh tengkulak.

Untuk itu perlu Visi Menjadikan Sumatera Barat sebagai pusat agroindustri hilir gambir yang terintegrasi dengan pasar global.

Dengan Strategi dan Implementasi dalam bentuk Diversifikasi produk berbasis riset dan teknologi, Membangun kemitraan strategis antara petani, peneliti, pelaku usaha, dan investor, serta Memberdayakan generasi muda untuk mengisi posisi kunci dalam inovasi, produksi, dan pemasaran digital tentu akan menghasilkan nilai tambah ekonomi yang sangat besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Sumbar.

Dari Penonton Menjadi Pemain

Banyak anak muda masih menganggap pertanian identik dengan kerja berat, berlumpur dan hasil minim. Padahal, gambir justru menunjukkan peluang bisnis yang bisa mendatangkan keuntungan miliaran rupiah.

Gen Z dan Milenial memiliki keunggulan yang tak dimiliki generasi sebelumnya seperti, Kreativitas untuk melahirkan produk turunan baru., Kemahiran digital untuk memperluas pasar melalui e-commerce dan platform ekspor online, Koneksi global untuk membuka pintu kerjasama internasional.

Jika petani generasi lama menjual daun segar, maka generasi muda berpotensi menjadi pendiri start-up agroindustri yang menciptakan produk bernilai tinggi dan membuka lapangan kerja baru di kampung halaman.

Peran Pemerintah: Menjadi Orkestra Pendorong

Transformasi besar ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Pemerintah provinsi bersama pemerintah kabupaten penghasil utama perlu hadir sebagai pengarah strategi. Langkah-langkah yang bisa ditempuh antara lain: Menyediakan riset dan teknologi tepat guna untuk mendorong hilirisasi, Menjamin akses permodalan, insentif usaha, dan pendampingan bisnis, Membuka jaringan pasar ekspor lewat promosi dan diplomasi dagang serta Menghadirkan ekosistem kewirausahaan muda melalui inkubator bisnis, pelatihan, dan pendampingan intensif.

Dengan pendekatan strategis semacam ini, Sumbar tidak lagi sekadar penyedia bahan mentah, tetapi bisa naik kelas menjadi pusat agroindustri berdaya saing global.

Bonus Demografi sebagai Momentum

Saat ini, Sumatera Barat berada di tengah fase bonus demografi. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, sekitar 30,56% adalah Generasi Z, dan 24,25% adalah Milenial. Dengan persentase sebesar itu, generasi muda bukan hanya menjadi mayoritas umur produktif, tetapi juga kekuatan demografi yang sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi, termasuk dalam agroindustri gambir. Generasi produktif jumlahnya jauh lebih besar dibanding usia non-produktif. Jika peluang emas ini tidak dimanfaatkan, ia bisa berubah menjadi masalah sosial.

Di sinilah pertanian berbasis inovasi, seperti pengolahan gambir, bisa menjadi jawaban. Bukan hanya untuk menciptakan lapangan kerja, tetapi juga untuk menjadikan Sumbar sebagai pemain penting dalam pasar dunia.

Penutup

Kesuksesan sejati tidak lahir dari jalan pintas. Tapi di ladang-ladang Minangkabau, ada emas hijau yang nyata dan siap digarap.

Pertanyaannya: apakah generasi muda siap keluar dari zona nyaman, mengubah stigma lama, dan mengambil peran sebagai pionir perubahan?

Sesungguhnya pertanian bukan warisan masa lalu yang harus ditinggalkan. Pertanian adalah panggung masa depan. Dan generasi mudalah yang seharusnya berdiri di atas panggung itu, dengan strategi yang tepat, dukungan pemerintah, serta semangat untuk membawa Sumatera Barat menembus pasar dunia.

Penulis : Medi Iswandi (Mahasiswa Program Doktor FEB Universitas Andalas) dan Asisten III Setdaprov Sumbar.

Sumber tulisan: antara, 19 September 2025.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan