“Di mano tampek mancari kawan, di siko tampek mancari lawan.” Kalimat dalam falsafah Minang ini mungkin bisa jadi cermin kenapa Sumatera Barat (Sumbar) punya tempat istimewa di hati wisatawan, tapi juga kerap dianggap “kurang ramah”. Alamnya elok, dari Lembah Harau yang memesona hingga ombak Mentawai yang menantang selancar dunia. Rendangnya mendunia, sate Padangnya bikin lidah bergoyang. Tapi, tak jarang, wisatawan pulang dengan cerita: “Orang Minang kok agak ketus, ya?” Atau, “Di pasar kok disambut dengan muka masam?” Beda jauh, katanya, dengan Bali yang selalu menyapa dengan senyum lebar.
Benarkah masyarakat Minang kurang ramah? Atau ini cuma salah paham budaya yang bisa kita urai bersama, dengan cara yang baso-basi tapi tetap jujur, ala Minang?
Alam Memukau, Makanan Menggoda, Tapi Ramahnya ke Mana?
Sumbar adalah permata pariwisata Indonesia. Pada 2023, Dinas Pariwisata Sumbar mencatat 11,2 juta wisatawan berkunjung ke destinasi seperti Bukittinggi, Solok, dan Pesisir Selatan. Kabupaten Solok saja menyambut 1 juta wisatawan saat Lebaran 2024, menunjukkan pesona ranah Minang yang tak pernah pudar. Dari Jam Gadang yang ikonik hingga Danau Singkarak yang tenang, Sumbar punya segalanya untuk memikat hati. Belum lagi kuliner: rendang yang masuk daftar makanan terenak dunia versi CNN, atau kopi Kawa Daun yang disajikan dengan gaya unik. Tapi, di tengah semua keindahan ini, ada keluhan yang mengganjal: masyarakatnya dianggap kurang ramah.
Penelitian dari Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi (PKSBE) Universitas Negeri Padang pada 2018 menyebut bahwa masyarakat Sumbar, terutama di pasar dan angkutan umum, belum sepenuhnya ramah terhadap wisatawan. Banyak pengunjung merasa interaksi dengan pedagang atau sopir angkot terasa dingin, bahkan ketus. “Di Bali, orang senyum meski kita cuma tanya jalan. Di sini, kayak buru-buru mau kemana,” ujar seorang wisatawan dalam survei tersebut. Persepsi ini masih bergema di media sosial pada 2025, dengan beberapa posting di X yang membandingkan keramahan Bali dengan sikap masyarakat Sumbar yang “to the point” tapi kadang terasa kasar.Tapi, benarkah orang Minang sengaja ketus? Atau ini cuma soal beda cara pandang? Sebagai orang “rantau” yang coba memahami ranah Minang, saya ingin bilang: ini bukan soal kasar, tapi soal budaya yang lugas, ditambah sedikit kekurangan di sana-sini yang bisa kita perbaiki bersama.
Mengapa Masyarakat Minang Dianggap “Kurang Ramah”?
Mari kita duduk sejenak di lapau sambil minum kopi Kawa, dan urai masalah ini dengan kepala dingin. Ada beberapa alasan kenapa persepsi “kurang ramah” ini muncul:
Karakter Lugas Minangkabau:
Orang Minang dikenal dengan falsafah “randah hati, tinggi ilmu, cerdas akal”. Budaya Minang menekankan kejujuran dan keterbukaan, yang kadang terlihat tegas atau blak-blakan. Misalnya, di pasar, seorang pedagang mungkin langsung bilang, “Harga segini, ambiak atau tinggakan.” Bagi orang Minang, ini cuma soal efisiensi, tapi bagi wisatawan, ini bisa terasa ketus. Bandingkan dengan Bali, yang punya tradisi nyama braya (persaudaraan) yang membuat mereka lebih ekspresif dalam menyapa tamu. Minang punya baso-basi, tapi sering kali lebih halus dan terbatas pada lingkup komunal, bukan untuk orang asing.
Pariwisata yang Masih Berkembang:
Bali sudah jadi destinasi global sejak tahun 1970-an, dengan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi. Masyarakat Bali terlatih menyambut wisatawan, dari senyum pramusaji hingga keramahan pemandu wisata. Sumbar, meski punya potensi besar, baru menanjak sebagai destinasi utama pasca-Covid-19. Penelitian Universitas Andalas (2024) menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat Sumbar tentang manfaat pariwisata. Banyak yang belum melihat wisatawan sebagai “tamu” yang membawa rezeki, sehingga interaksi cenderung biasa saja, bukan spesial.
Infrastruktur yang Belum Maksimal:
Jujur saja, beberapa destinasi di Sumbar masih jauh dari nyaman. Toilet di tempat wisata sering kotor, papan petunjuk minim, dan angkutan umum kadang tak ramah pengguna. Ketika wisatawan sudah kesal karena fasilitas buruk, interaksi kecil dengan masyarakat—misalnya pedagang yang buru-buru atau sopir yang cuek—bisa terasa seperti puncak gunung es. Padahal, kalau fasilitasnya mendukung, kesan “kurang ramah” ini mungkin tak begitu menonjol.
Perbandingan yang Tidak Adil:
Bali adalah anomali dalam pariwisata Indonesia, dengan budaya keramahan yang sudah jadi merek dagang. Sumbar, dengan kekayaan budaya Minang yang kuat, punya gaya sendiri: tegas, jujur, tapi tetap punya hati. Sayangnya, wisatawan sering membandingkan langsung dengan Bali, tanpa memahami bahwa Minang punya cara sendiri dalam menyapa dunia.
Bukan Kasar, Tapi Belum Terlatih
Saya bukan mau bilang orang Minang kasar—jauah dari itu. Kalau orang Minang kasar, mana mungkin wisatawan tetap berdatangan? Data 2023 menunjukkan Sumbar masih jadi favorit, dengan Pesisir Selatan dan Mentawai menarik wisatawan mancanegara. Tapi, kalau kita jujur, ada ruang untuk lebih ramah, untuk membuat tamu merasa di rumah. Ini bukan soal mengubah jati diri Minang, tapi soal memoles apa yang sudah ada—baso-basi yang hangat, santun jo sopan yang jadi kebanggaan ranah Minang.
Cara Membuat Minang Lebih Ramah, A-la Minang
Orang Minang tak suka digurui. Kalau ada yang datang dengan nada menggurui, bisa-bisa disambut dengan, “Baa pulo awak ko?” Makanya, pendekatan untuk meningkatkan keramahan harus khas Minang: menghormati adat, melibatkan komunitas, dan sedikit bercanda supaya tak kaku. Berikut beberapa ide:
Ngobrol di Lapau: Pelatihan Berbasis Komunitas
Lupakan seminar kaku di hotel. Adakan pelatihan keramahan di lapau atau rumah gadang, dengan ninik mamak dan pemuka agama sebagai fasilitator. Ajak pedagang pasar, sopir angkot, dan pemilik warung untuk ngobrol santai tentang manfaat pariwisata. Ceritakan bahwa satu senyum ke wisatawan bisa bikin dompet mereka lebih ramah ke produk lokal. Contohnya, di Kabupaten Solok, pelatihan Community-Based Tourism sudah mulai berjalan—tinggal diperluas dengan gaya Minang yang santai tapi bermakna.
Kampanye “Minang Ramah, Wisata Nyaman”
Orang Minang jago bikin slogan yang ngena. Luncurkan kampanye dengan tagline “Minang Ramah, Wisata Nyaman”, dipromosikan lewat media sosial, radio lokal, dan spanduk di Jam Gadang. Libatkan influencer Minang untuk bikin video pendek: misalnya, mengajarkan frasa “Salamaik datang” sambil tawarkan rendang. Ini bukan cuma promosi, tapi pengingat bahwa keramahan adalah bagian dari adat salingka nagari.
Bikin Wisata Lebih Nyaman
Kalau toilet di Lembah Harau bersih dan ada papan petunjuk yang jelas, wisatawan pasti lebih rileks. Pemerintah Sumbar bisa ajak masyarakat lokal kelola destinasi, seperti jadi pemandu wisata atau buka homestay. Di Mentawai, misalnya, masyarakat bisa dilatih jadi pemandu selancar, sehingga interaksi dengan wisatawan lebih hangat. Kalau tempatnya nyaman, orang Minang yang lugas pun akan terlihat lebih ramah.
Ceritakan Budaya Minang dengan Bangga
Orang Minang punya cerita hebat: dari rumah gadang sampai tari piring. Kembangkan paket wisata yang melibatkan masyarakat, seperti workshop masak rendang atau kunjungan ke Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang Panjang. Ketika masyarakat merasa budayanya dihargai, mereka akan lebih terbuka menyambut tamu.
Ajar di Sekolah, Ceritakan di Nagari
Masukkan pelajaran tentang pariwisata ke sekolah-sekolah, terutama di daerah wisata seperti Bukittinggi. Ceritakan bahwa menyapa wisatawan dengan senyum adalah bagian dari baso-basi. Di nagari, adakan lokakarya ringan, misalnya dengan tema “Tampek Bapaneh, Hati Bapaga” (tempat yang ramah, hati yang terbuka). Ini cara Minang: tak perlu menggurui, cukup mengajak.
Beri Hadiah untuk yang Ramah
Orang Minang suka tantangan. Pemerintah bisa kasih penghargaan untuk nagari atau komunitas yang paling ramah, seperti tagline “Belum ke Sumbar kalau belum ke nagari ini”. Bantuan modal untuk homestay atau warung juga bisa jadi insentif. Dengan begini, keramahan jadi kebanggaan, bukan beban.
Kesimpulan: Minang Tetap Minang, Tapi Lebih Ramah
Orang Minang bukan kasar, cuma lugas—dan itu bagian dari pesona ranah Minang. Persepsi “kurang ramah” adalah cermin dari budaya yang berbeda, pariwisata yang masih berkembang, dan fasilitas yang perlu dipoles. Dengan pelatihan yang santai, kampanye yang ngena, dan keterlibatan masyarakat ala Minang, Sumbar bisa jadi destinasi yang tak cuma indah, tapi juga hangat di hati. Seperti kata pepatah Minang, “Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang”—mari bersama-sama bikin wisata Sumbar lebih ramah, tanpa kehilangan jati diri Minang yang kita banggakan.(*)