Dyah Ayu Pangestuti, setelah menyelesaikan S1-nya di Jurusan Seni Institut Kesenian Jakarta, melanjutkan Advanced Diploma dalam Konservasi Seni di Toyo Institute, kemudian melanjutkan ke jenjang pasca sarjana (magister dan doktoral) di Tsukuba University dalam World Heritage Program. Ayu lahir dari ibu berdarah Minangkau dan ayah Jawa, lahir dan besar di Jakarta. Berikut petikan wawancara tertulis minangglobal.com dengan Dyah Ayu Pangestuti.
MG: Sekarang di Tokyo mempelajari apa? Apakah pasca sarjana? Kenapa senang dengan bidang ini?
Tampaknya bidang ini tidak banyak dipelajari anak muda Indonesia. Setelah meraih gelar Sarjana Seni dengan fokus pada praktik konservasi preventif di museum-museum Indonesia, saya semakin mendalami ketertarikan terhadap pelestarian warisan budaya. Untuk memperluas wawasan dan keterampilan dalam bidang ini, saya melanjutkan studi ke jenjang Advanced Diploma dalam Konservasi Seni di Toyo Institute, di mana saya mendalami berbagai teknik konservasi, analisis material, serta strategi pelestarian preventif guna mendukung upaya pelestarian warisan budaya secara lebih efektif dan berkelanjutan. Studi ini kemudian saya lanjutkan ke jenjang pasca sarjana (magister dan doktoral) di Tsukuba University dalam World Heritage Program, di mana saya memperdalam pemahaman mengenai manajemen warisan budaya, kebijakan pelestarian, assesibilitas ruang kultur, serta strategi konservasi dalam lingkup global.

MG: Seberapa jauh kedua orangtua mempengaruhi pilihan ini?
Sangat berpengaruh. Saya sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukung setiap keputusan yang saya buat. Sejak kecil, saya melihat ibu sebagai sosok yang tangguh—sibuk dengan pekerjaannya, tetapi tetap bisa mengurus keluarga dan selalu ada untuk saya. Sementara ayah, yang memutuskan untuk kuliah lagi di usia 50-an, mengajarkan bahwa belajar itu tidak mengenal batas usia—selalu ada kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru. Dari mereka, saya belajar bahwa tidak ada kata terlambat untuk terus berkembang dan mengejar ilmu.
MG: Sebagai orang yang lahir di Jakarta dari ibu yang orang Minang, dan bapak orang Jawa, bagaimana Ayu menjalani kehidupan dari kecil sampai dewasa dengan dua kultur orang tua yang berbeda? Bagaimana menyerap dua kultur tersebut?
Karena saya besar di Jakarta, perbedaan kultur antara ayah dan ibu saya tidak terlalu terasa. Hidup di kota besar yang penuh dengan keberagaman membuat segala perbedaan budaya melebur dalam keseharian. Jakarta, dengan segala dinamika dan kemajemukannya, menjadi ruang di mana berbagai tradisi dan kebiasaan dari latar belakang yang berbeda bisa berjalan berdampingan. Nilai-nilai dari kedua orang tua saya tetap hadir, tetapi lebih dalam bentuk prinsip dan cara pandang, bukan dalam perbedaan yang mencolok. Lingkungan sekitar yang multikultural juga turut membentuk saya, sehingga saya tumbuh dengan pandangan yang lebih terbuka terhadap berbagai budaya tanpa terlalu merasa terikat pada satu identitas tertentu.
MG: Apakah ada prinsip-prinsip hidup atau falsafah orang Minang yg Ayu ketahui, dan apakah dipakai dalam kehidupan?
Salah satu nilai Minangkabau yang saya pelajari dari Oma Adi adalah “Duduak samo randah, tagak samo tinggi.” Nilai ini mengajarkan bahwa setiap orang, tanpa memandang peran atau statusnya, harus diperlakukan dengan rasa hormat yang sama. Oma selalu mengingatkan saya bahwa kerendahan hati dan kebaikanlah yang benar-benar penting. Beliau juga sering mengajarkan “Duduak marauik ranjau, tagak maninjau jarak” sebuah pengingat untuk selalu bijak dalam bertindak dan memikirkan dampaknya di masa depan. Nilai ini mengajarkan saya untuk menggunakan waktu sebaik mungkin dan menjadikannya lebih bermakna.
MG: Dalam hal-hal apa yang membuat Ayu merasa bagian dari orang Minang, seberapa kuat perasaan itu?
Tidak peduli berapa lama saya pergi atau seberapa jarang saya hadir di acara keluarga, setiap kali pulang ke Indonesia, keluarga Minang selalu menyambut saya dengan hangat. Rasa kebersamaan itulah yang membuat saya merasa benar-benar kembali. Hal-hal seperti ini yang membuat saya tetap bangga menjadi bagian dari keluarga Minang, karena saya tahu, ke mana pun saya pergi, saya selalu punya tempat untuk pulang.

MG: Bagaimana pandangan Ayu terhadap Minangkabau masa kini dan masyarakatnya?
Karena saya tumbuh di komunitas Minang perantauan, yang saya lihat adalah bagaimana orang Minang merupakan komunitas yang sangat progresif dan mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan tanpa kehilangan jati dirinya. Meskipun hidup jauh dari tanah asal, mereka tetap menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya, sambil terbuka terhadap perkembangan zaman. Kemampuan untuk menyeimbangkan antara menjaga warisan budaya dan beradaptasi dengan lingkungan baru inilah yang membuat komunitas Minang tetap kuat dan relevan di manapun mereka berada.
MG: Sekarang tinggal di Jepang, apakah ada kehilangan dari sesuatu yang berbau Minang (misal makanan, pakaian, dll) selama tinggal di sana?
Yang paling pasti dan tak tergantikan adalah makanan. Dalam budaya Minang, makan bukan sekadar soal rasa atau mengisi perut, tetapi juga tentang kebersamaan dan mempererat hubungan. Setiap hidangan menjadi jembatan untuk berbagi cerita, tawa, dan pengalaman, menciptakan ikatan yang lebih dari sekadar duduk bersama di meja makan. Tinggal di Jepang, di mana makan sendiri adalah hal yang biasa dan bahkan sering dianggap sebagai waktu untuk refleksi diri, membuat saya semakin menyadari betapa kuatnya nilai kebersamaan dalam budaya makan Minang. Di sini, banyak restoran yang dirancang untuk pelanggan individu, dengan tempat duduk yang privat dan suasana yang tenang. Konsep ini sangat berbeda dengan suasana makan di kampung halaman, di mana kebersamaan adalah inti dari setiap santapan.
MG: Bagaimana komunitas Indonesia di sana? Adakah secara khusus mereka berkumpul membuat paguyuban sesuai dengan etnisnya seperti di Australia? Ayu ikut yang mana?
Saya memang belum terlalu banyak terekspos dengan komunitas Indonesia di sini, karena sebagian besar teman dan kolega saya adalah warga negara Jepang dan orang asing dari berbagai negara. Namun, setiap kali saya makan di rumah makan Indonesia, selalu ada saja momen di mana orang-orang saling mengenal satu sama lain.(*)
Pewawancara: Budiarman Bahar