Setelah menjadi Menteri Dalam Negeri Dr. H. Gamawan Fauzi, S.H., M.M., kegiatannya tidak juga berkurang. Pria berdarah Minangkabau ini belakangan kerap diundang menjadi pembicara seminar, khususnya tentang Minangkabau, dan juga dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi di Sumatera Barat. Seperti apa pandangan mantan Bupati Solok dan Gubernur Sumatera Barat terhadap Minangkabau dan Sumatera Barat? Berikut wawancara khusus Penanggung Jawab Minang Global, Budiarman Bahar, dengan Gamawan Fauzi, Senin (20/1) sore di Jakarta.
Ada wacana pemecahan-pemecahan dan penggabungan menjadi Provinsi Sumatera Tengah dan Sumatera Barat. Misalnya sebagian dari Riau yang masuk ke Sumatera Barat. Bagaimana pendapat Pak Gawawan? Bagaimana nanti ke depannya dari sisi pemerintahan apakah itu lebih efektif?
Gamawan: Kita pisahkan itu antara pemerintahan dan etnik. Kalau Minangkabau itu sebenarnya tidak sama dengan Sumatera Barat. Minangkabau sangat luas, dia etnik. Unik. Dia pakai garis keturunan ibu. Semua suku bangsa di Indonesia ini pakai garis keturunan bapak, kecuali Minangkabau. Di mana wilayah Minangkabau itu sebetulnya hampir tidak jelas batasnya. Dia sampai ke Riau, sebagian Riau. Dia sampai ke Kerinci, sebagian Kerinci. Sampai ke Mandailing. Kemudian dia merantau. Dia membawa adatnya itu ke rantau di beberapa provinsi lain di Indonesia.
Tapi dia menjadi kecil-kecil di situ. Karena orang Minang ini tidak bisa bersatu. Tidak tradisinya bersatu. Bapak boleh cari kampung Minang di seluruh dunia, enggak ada. Bapak bisa cari kampung Ambon, kampung Melayu, kampung Bugis, kampung Makassar, kampung Jawa, kampung Cina, tapi tidak pernah ada kampung Minang. Itu uniknya. Dia melebur ke mana-mana.
Jadi ada dua tipe Minang. Pertama memang pernah hidup di kampung. Yang kedua, tidak pernah hidup di kampung. Konon jumlah yang hidup di kampung itu dengan yang tidak pernah hidup di kampung itu sama banyaknya. Tapi dia tetap membawa nama Minang di rantau. Tetap dia memakai nama Minang.
Dan sifatnya dia suka merantau. Kata orang Padang itu, telapak kakinya ada tai lalat. Karena merantau terus itu. Kayak Buya Hamka kalau kita lihat, seorang Buya Hamka ke mana-mana dia, ke Makassar, ke Deli. Dia tidak menetap. Yang dibawanya apa? Ilmu pengetahuan. Banyak orang Minang yang seperti itu. Jadi dia merantau membawa ilmu pengetahuan.

Jadi kalau tinggal di kampung itu ada tradisi. Laki-laki itu tidur di surau. Tidak tidur di rumah ibunya. Dia tidur di surau, dia mengaji di surau, dia bersilat di surau, dia berdiskusi di surau, mempertajam pikirannya. Karena itulah dia suka berdiskusi. Karena ketemu laki-laki saja di situ kan, di surau itu. Siang dia sekolah agama atau sekolah umum. Nah itu tradisinya.
Jadi orang Minang itu, saya pernah dengar ceramah dari seorang antropolog Malaysia, dia bilang orang Minang ini laki-laki yang paling sengsara di dunia. Kenapa? Dia, di rumah ibunya dia jadi penghulu. Jadi datuk. Jadi mamak dari situ. Yang ada tanggung jawab saja itu. Kalau memutuskan dia, atau mengambil keputusan di kaumnya itu dia.
Yang dibesarkan itu dia. Yang diharapkan itu dia. Tapi kalau ada rezeki, bukan untuk dia, untuk saudaranya yang perempuan. Jadi dia bertanggung jawab terhadap keponakannya, sekaligus terhadap anaknya. Karena itu, laki-laki Minang itu dia punya kekuasaan, tapi dia punya beban.
Karena itu, sembilan dari sepuluh laki-laki Minang itu hipertensi. Makanya, rumah sakit stroke itu ada di Bukittinggi.
Tambah lagi makannya, tambah rendang, tiap hari orang Minang itu menyimpan rendang
Ibu saya itu tiap hari itu pasti ada rendang. Jadi kalau ada tamu yang stand by rendang, tinggal memanasi. Rendang itu bisa dua bulan. Belum ada kulkas sudah menyimpan rendang. Jadi siapa pun tamu tinggal manasi saja. Dan kalau yang matang bisa tahan berbulan-bulan.
Nah, orang Minang itu karena dia berat beban di kampung, karena itu dia pergi ke rantau.
Menurut Taufik Abdulah, orang Minang itu merantau karena tiga hal. Pertama, untuk mencari uang, karena tanggung jawabnya berat di kampung. Yang kedua, ini menjaga marwah keluarga, karena datuk itu tanggung jawab di tangan dia. Ketiga, mencari ilmu.
Jadi, orang Minang itu sangat suka mencari ilmu, bahkan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1925 itu, Bapak boleh cari majalah Tempo, laporan utama majalah Tempo, 6 Juni 1995 di Tempo, jumlah sekolah di Minang kala itu sama banyaknya dengan jumlah sekolah Jawa dan Bali. Jadi, belum kemerdekaan, itu jumlah sekolah sudah dua kali dari sama banyaknya dengan jumlah sekolah seluruh Jawa dan Bali.
Itu di kota apa?
Semua di Minangkabau. Karena di situ yang berdaulat nagari. Nagari itu satu unit pemerintahan, kesatuan masyarakat adat yang kata Belanda itu seperti republik-republik kecil, dia otonom. Makanya saya tidak setuju dengan konsep-konsep pemerintahan sekarang ya, menasionalkan semuanya. Belanda tidak menyentuh itu. Belanda tidak mengurus itu. Jadi yang pemerintahan itu, kalau Belanda sampai sistem wedanasaja, camat, nagari tidak disentuhnya.
Undirect government itu masuk, jadi pemerintahan tidak langsung, uruslah, kalian sendiri, biayailah kalian sendiri, jagalah adat kalian, tidak diganggu sama Belanda.
Nah begitu kita menjadi negara kesatuan, pelan-pelan pemerintah masuk ke dalam nagari itu, dan itu merusak sistem yang ada. Yang sudah ada turun-temurun itu merusak. Saya kira di Jawa juga seperti itu, di Bali, di Sumatera Selatan, juga seperti itu. Karena government takes over all.
Jadi ingin mengambil, ingin berkuasa semuanya. Padahal tidak seperti itu, harusnya.
Itu maksud Bapak, dulu nagari dihilangkan…
Iya. Dijadikan desa, Undang-Undang Desa No 574. Sejak itu sudah mulai rusak. Jadi tatanan sosial itu berubah. Yang misalnya nagari dipimpin oleh empat unsur itu, ini ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai dan bundo kandung, itu sudah bergeser. Setelah itu di dalam suku itu ada manti, malin, dubalang, pangulu, tidak berfungsi.
Karena yang berfungsi itu sudah institusi pemerintah. Padahal di dalam Undang-Undang Dasar disebut, contoh-contoh itu kan, seperti nagari di Minangkabau, desa di Jawa dan Bali, marga di Sumatera Selatan, itu disebut di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar. Tapi pelan-pelan, karena orang butuh duit, orientasinya pembangunan, desa kan dibantu uang. Karena itu, nagari itu dipecah menjadi beberapa desa, supaya banyak dapat uang, kan.
Tapi struktur sosial, sistem nilainya jadi bergeser. Seperti di Sulit Air, lah, mungkin di desa ini, saya tinggal di desa A. Tapi sawah saya kan ada di desa B. Walaupun dalam nagari yang sama. Dalam negara yang satu. Kan berubah itu. Lalu aturan di situ tidak sama, di desa A dengan desa B. Dulu satu-satuan. Itu contoh kecil.
Nah itu terjadi pergeseran terus-menerus sampai sekarang. Sekarang lebih parah lagi kalau kepala desa, sudah digaji, kalau masa jabatan, sudah jadi dua kali, delapan tahun. Itu karena mengalah kepada kepala desa karena demi kepentingan pemilu. Waktu saya, tidak akan saya ijinkan itu, saya pastikan tidak. Dan itu sudah ada suara waktu saya, tapi saya tidak mau. Karena ini merusak. Harusnya dia berusaha sendiri menghidupkannya karena banyak hukum-hukum positif yang nanti bentrok dengan hukum sosial.
Orang Minang, maaf ya, orang Minang kalau pindah agama dia dari Islam dia dibuang sepanjang adat, karena filosofis Minang itu “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah” Jadi kalau dia tidak lagi bisa bersendikan Kitabullah, ia bukan lagi orang Minang, dikeluarkan sepanjang adat. Dipersilakanlah, tapi kamu bukanlah Minang.
Itu prinsip. Adat itu ada empat tingkatan. Adat yang sebenar-benar adat. Pertama. Itu yang tadi
yang adat “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah,” itu yang benar-benar adat. Yang kedua, adat yang diadatkan. Yang ketiga, adat yang teradat. Yang keempat, adat istiadat.
Adat istiadat ini bisa berubah. Setiap waktu bisa berubah. Dulu kita makan pakai pidato-pidato adat, sekarang beda, silakan itu adat istiadat. Bukan adat yang berubah itu. Adat istiadatnya yang berubah itu. Jadi, kalau saya lihat perjalanan pemerintahan 79 tahun ini, banyak sekali berubah. Saya kira juga terjadi di hampir semua provinsi.
Nah, ketika saya membuat Undang-Undang Desa, saya kan harus presentasi ke Pak SBY dulu. “Pak Mendagri mau mengubah UU Desa? Apa yang mau diubah? Bagaimana orientasinya?” tanya Pak SBY.
Ada negara yang meninggalkan tradisi, sudahlah kita lihat ke depan saja. Ada negara yang melihara tradisi, ya kita tetap kayak Bhutan. Kalau negara yang melihat ke depan itu seperti Perancis. Kayak Bhutan, ya sudahlah berubah di luar silakan, kita dengan diri kita saja.
“‘Pak Mendagri, mau bikin seperti apa?” tanya Pak SBY. “Menurut saya sepanjang diakui, sepanjang dipakai, itu kita pertahankan. Tapi yang tidak lagi terpakai, masyarakat sendiri yang ingin mengubahnya, itu kita tinggalkan. Makanya saya berencana mengubah undang-undang pemerintahan desa,” kata saya ke Pak SBY.
Sekarang banyak berubah. Yang masih bertahan itu saya kira Bali. Dia masih memelihara desa adatnya. Jadi dia pisahkan antara desa administrasi dan desa adat.
Ini desa adat, kami atur dengan adat. Ini desa administrasi, silakan di atur dengan administrasi.
Jadi pemerintahan desa sebetulnya boleh mempertahankan dirinya, dianggap tidak melanggar.
Boleh, saya membuat Undang-undang itu dulu, pilihlah anda mau memisahkan desa adat dari desa administrasi. Anda mau gabungkan, mau memisahkan silakan.
Itu kalau kita bicara Minangkabau secara garis besarnya. (bersambung)