Oleh: Muhammad Akhyar Adnan, Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi, Jakarta.

Pendidikan di Indonesia sedang menghadapi tantangan serius yang mencerminkan kompleksitas masalah sosial, ekonomi, dan kebijakan. Dua gejala utama yang mencuat belakangan ini adalah menurunnya jumlah murid baru di sekolah dasar (SD) negeri dan inisiatif pemerintah meluncurkan program Sekolah Rakyat dengan anggaran besar untuk anak-anak dari keluarga miskin. Fenomena ini menunjukkan paradoks dalam sistem pendidikan: di satu sisi, sekolah-sekolah yang sudah ada kekurangan murid, sementara di sisi lain, pemerintah mengalokasikan dana besar untuk membangun institusi baru yang menimbulkan kontroversi.

Artikel ini akan menggambarkan apa yang sedang terjadi dan menawarkan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

Krisis Murid Baru di Sekolah Dasar Tahun ajaran 2025/2026 menjadi saksi dari fenomena memilukan di dunia pendidikan dasar Indonesia. Ratusan SD negeri di berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten, melaporkan hanya menerima sedikit atau bahkan tidak ada murid baru. Di Kabupaten Temanggung, misalnya, 32 SD negeri hanya mendapatkan kurang dari lima siswa baru, dengan kasus ekstrem seperti SD Negeri Butuh yang hanya menerima dua murid dan SD Negeri Kauman 27 Solo yang hanya mendapat satu murid. Di Mojokerto, 159 SD negeri kekurangan siswa, dengan beberapa sekolah seperti SDN Dilem tidak menerima murid sama sekali. Fenomena serupa juga terjadi di Trenggalek dan Pandeglang, di mana lokasi sekolah yang terpencil menjadi faktor utama sepinya peminat.

Apa yang menyebabkan krisis ini?

Pertama, faktor demografis memainkan peran besar. Penurunan angka kelahiran di beberapa daerah, terutama di wilayah perkotaan dan pinggiran kota, menyebabkan berkurangnya jumlah anak usia sekolah.

Kedua, urbanisasi telah mendorong banyak keluarga untuk pindah ke kota besar, meninggalkan sekolah-sekolah di daerah pedesaan dengan jumlah murid yang minim.

Ketiga, persaingan dengan sekolah swasta yang menawarkan fasilitas lebih modern atau program keagamaan yang menarik juga mengalihkan minat masyarakat. Selain itu, persepsi masyarakat terhadap kualitas pendidikan di SD negeri, yang sering kali kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar, turut memperparah situasi. Banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta atau madrasah yang dianggap lebih unggul.

Sekolah Rakyat: Solusi atau Beban Baru?

Di tengah krisis murid di SD negeri, pemerintah meluncurkan program Sekolah Rakyat pada 14 Juli 2025, yang menargetkan anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Program ini, yang diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto, menawarkan pendidikan gratis dengan konsep asrama dan mengklaim akan “memuliakan keluarga miskin” serta memutus rantai kemiskinan. Namun, program ini menuai kritik tajam karena dianggap gegabah dan minim kajian. Dengan anggaran Rp150 miliar per sekolah, Sekolah Rakyat dianggap sebagai proyek ambisius dengan target masif namun berpotensi boros dan membuka celah korupsi.

Pengamat pendidikan seperti Retno Listyarti dari Federasi Serikat Guru Indonesia menyebut program ini sebagai solusi instan yang tidak memperkuat sistem pendidikan negeri yang sudah ada. Alih-alih membangun sekolah baru, pemerintah seharusnya fokus memperbaiki infrastruktur dan kualitas SD negeri yang sudah ada. Selain itu, Sekolah Rakyat dinilai berpotensi menciptakan segregasi sosial, karena hanya menampung anak-anak dari kelompok miskin tertentu, sementara daya tampungnya terbatas—hanya 2.500 murid di 53 lokasi. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah program ini benar-benar solusi untuk 24,06 juta orang miskin dan 2,3 juta orang miskin ekstrem di Indonesia?

Minimnya sosialisasi juga menjadi kendala. Banyak keluarga miskin, seperti Tutiek Budhawati, mengaku belum mengetahui program ini, sementara pengalaman dengan program pendidikan lain menunjukkan ketidaktepatan sasaran, di mana keluarga kaya kerap memanfaatkan “surat miskin” untuk mendapatkan akses. Selain itu, pelibatan TNI dalam pengelolaan dan kurikulum yang dianggap campur baur menambah keraguan akan keberlanjutan program ini.

Solusi untuk Masa Depan PendidikanUntuk mengatasi krisis murid baru di SD negeri dan kontroversi Sekolah Rakyat, diperlukan pendekatan yang holistik dan berfokus pada pemerataan serta efisiensi.

Berikut beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan:

Revitalisasi SD Negeri

Pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki infrastruktur SD negeri, terutama di daerah terpencil. Fasilitas seperti ruang kelas, perpustakaan, dan laboratorium perlu ditingkatkan untuk menarik minat orang tua. Selain itu, peningkatan kualitas guru melalui pelatihan dan insentif finansial akan meningkatkan daya saing sekolah negeri dibandingkan sekolah swasta.

Pemerataan Akses Pendidikan

Untuk mengatasi masalah geografis, pemerintah dapat mengembangkan program asrama di SD negeri yang sudah ada, bukan membangun sekolah baru. Ini akan lebih hemat biaya dan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada. Program beasiswa dan bantuan transportasi juga perlu diperluas untuk anak-anak dari keluarga miskin.

Sosialisasi dan Transparansi Program Sekolah Rakyat

Jika Sekolah Rakyat tetap dilanjutkan, pemerintah harus memastikan sosialisasi yang menyeluruh dan pengelolaan yang transparan untuk mencegah korupsi. Kriteria penerimaan siswa harus jelas dan diawasi ketat agar tepat sasaran.

Kurikulum Relevan dan Inklusif

Kurikulum Merdeka, yang kini diterapkan, perlu dioptimalkan dengan memastikan akses teknologi dan pelatihan guru di daerah terpencil. Pendidikan juga harus mengintegrasikan keterampilan abad 21, seperti berpikir kritis dan kreativitas, untuk menyiapkan siswa menghadapi dunia kerja.

Kemitraan dengan Swasta dan Masyarakat

Kolaborasi dengan lembaga swasta dan organisasi masyarakat, seperti Muhammadiyah, Putera Sampoerna Foundation, dapat membantu menyediakan beasiswa dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tertinggal.

Kesimpulan

Fenomena sepinya murid baru di SD negeri dan peluncuran Sekolah Rakyat mencerminkan tantangan besar dalam sistem pendidikan Indonesia: ketimpangan akses, kualitas yang belum merata, dan kebijakan yang sering kali tidak terkoordinasi. Daripada mengalokasikan dana besar untuk proyek baru yang berisiko, pemerintah sebaiknya memprioritaskan revitalisasi sekolah negeri yang sudah ada, meningkatkan kesejahteraan guru, dan memastikan akses pendidikan yang inklusif bagi semua anak, termasuk di daerah terpencil. Dengan pendekatan yang terarah dan transparan, pendidikan Indonesia dapat menjadi pilar utama untuk memutus rantai kemiskinan dan meningkatkan daya saing bangsa.(*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan