Rasa Segan yang Mendidik

Oleh Novri Latif, Ketua Surau Sydney, Australia
Maka ketika di Surau Sydney para orang tua berbagi kisah tentang Mamak, Datuak, dan penghulu zaman dahulu yang disegani, rasanya seperti membuka kembali lembar kenangan yang sama. Mereka berkata, “Kalau Datuak sudah berdiri, jangankan anak muda—orang tua pun menahan bicara.” Bahkan orang yang biasanya bersuara lantang bisa berubah selembut sutra ketika berhadapan dengan Mamak suku atau penghulu.
Bukan karena takut dihukum, tapi karena paham: mereka adalah simbol marwah. Mereka bukan sekadar pemimpin struktural, tapi pemilik suara batin masyarakat. Orang kampung berpikir dua kali sebelum berkata kasar atau bertindak ceroboh—bukan karena dilarang, tapi karena merasa malu.
Hari ini, yang tersisa mungkin hanya jejak. Kita hidup di zaman di mana perbedaan usia tinggal selisih angka, bukan lagi dasar untuk memuliakan. Di mana petuah ulama bisa disela dengan emoji tertawa, dan nasihat orang tua dibalas dengan kalimat pendek: “Setuju, tapi…”
Kita sedang bergerak terlalu cepat. Tapi mungkin, justru dalam laju itu, kita kehilangan sesuatu yang dulu membuat kita istimewa: rasa segan yang mendidik.
Segan yang bukan lahir dari rasa takut, tapi dari pengakuan batin—bahwa ada orang yang lebih dulu hidup, lebih dulu belajar, lebih dulu salah, dan karena itu, lebih dulu tahu.
Jika rasa segan itu hilang, apa lagi yang akan menjaga kita dari menjadi masyarakat yang hanya tahu hak, tapi lupa adab?
Maka senang sekali melihat kita masih memiliki tokoh-tokoh yang kita segani—mereka yang tak hanya hadir di tengah kita, tapi juga menjadi cahaya penunjuk arah.
Seperti Prof. Fasli Jalal, yang selalu menjadi tempat bertanya dalam setiap langkah. Seorang pemimpin intelektual yang rendah hati, yang keberadaannya mengingatkan bahwa ilmu bukan untuk meninggi, tapi untuk melayani.
Juga Buya Maheldi, yang menjadi payung dan penguat kita. Dalam sikapnya yang teduh, ada wibawa yang tak perlu diucapkan; cukup dilihat, cukup dirasa.
Tokoh agama pun tetap menjadi pelita: Buya dari MUI, Ustad Abdul Somad, Ustad Ed Fauzan—mereka adalah penjaga makna dan pelurus arah. Mereka tak hanya bicara di mimbar, tapi hadir dalam ruang batin umat, menjaga agar kita tak tersesat dalam kebisingan zaman.
Dan ada juga tokoh-tokoh yang tidak banyak bicara, tidak sering duduk di depan, bahkan kadang namanya luput dari percakapan harian. Tapi justru dari diam mereka, kita belajar arti perhatian yang dalam. Mereka yang memberi bukan untuk disebut, tapi untuk memastikan kita tetap kuat berdiri.
Salah satunya adalah Bapak Yendra Fahmi—sosok yang namanya mungkin jarang terdengar dalam percakapan terbuka, namun jejaknya terpatri dalam setiap lantai, dinding, dan atap surau yang kita cintai. Bukan sekadar donasi, tapi cinta yang ingin diwariskan.
Beliau menaruh harapan besar agar surau ini tak sekadar menjadi tempat ibadah, tapi juga menjadi ruang tumbuhnya adab dan rasa. Cinta beliau pada ibunda menjadi napas dari segala amal, dan pesan sunyi yang ingin beliau titipkan kepada generasi muda: bahwa kekuatan sejati lahir dari kasih yang mendalam—dan dari rasa segan kepada orang tua yang menumbuhkan keberkahan.
Barangkali, itulah yang membuat para tokoh kita tetap kita segani: bukan karena jabatan atau suara keras, tapi karena mereka menjaga simpul nilai yang mulai renggang—segan yang mendidik.
Maka mari kita rawat kembali nilai itu—di meja makan, di ruang rapat, di grup WhatsApp keluarga, dan di hati anak-anak kita.
Agar dunia yang penuh suara ini masih menyisakan ruang untuk mendengar.
Agar sopan santun tak hanya jadi kutipan, tapi jadi nafas kehidupan.
Dan agar kelak, saat anak-anak kita duduk melingkar mendengarkan kita bercerita, mereka tahu:
bahwa rasa segan bukan warisan kuno,
tapi tali pengikat antara hati, akal, dan martabat.
Sydney, June 2025
Surau Sydney Australia
Novri Latif