Suku Minang di Perantauan

Oleh Anton Alimin
Pada suatu pagi subuh di HP melihat sebuah email dan tertera pesan:
Terima kasih Pak Anton Alimin. Menarik ulasannya.
Saya membuat minangglobal.com. isinya seputar dunia urang awak, baik ranah Minang maupun urangnyo, baik yg di Indonesia maupun diaspora di luar negeri. Kami ingin memotret ranah Minang dan orangnya seperti apa sekarang ini.
Karena itu kami mengundang Pak Alimin untuk membuat tulisan tentang pandangan Pak Alimin mengenai Minang sekarang ini. Kalau berkenan bisa dikirim saja via WA dlm format Word.
Saya dapat di hubungi di WA……
Salam Budiarman
Ternyata pesan tadi dari Pak Budiarman, mantan Konsul Jendral RI untuk Victoria dan Tasmania yang kemudian menjadi Duta Besar RI untuk Vatikan. Beliau menulis email di atas setelah melihat salah satu Youtube: ‘Good Morning Indonesia with Poetry’ yang berjudul ‘Indonesia Menghadapi Mega Masalah 1 & 2’ (https://youtu.be/cH8susmIC0s) dan mengundang penulis untuk menulis artikel mengenai orang Minang sekarang ini di medsos beliau ‘minangglobal.com. Sebelumnya penulis mengucapkan ribuan terima kasih atas undangannya!

Diminta menulis tentang tanah Minang dan manusianya? Tugas berat, berat sekali!
Yang terlintas langsung di pikiran adalah apakah penulis mampu dan kompeten bicara tentang masyarakat Minang sekarang ini?’
Menulis tentang suku satu-satunya di Indonesia yang menganut sistim matrilineal di mana perempuan ‘lebih berkuasa’ daripada laki-laki? Di mana laki-laki hanya diperlakukan seperti ‘kumbang’, kalau tidak menunjukkan kinerja yang mengagumkan di mata mertua dan istri serta keluarga, sang kumbang akan mudah dibuang atau diusir begitu saja? Mungkinkah ini salah satu penyebab laki-laki Minang katanya dikenal tukang kawin? Dan yang lebih menarik lagi menurut penelitian perceraian di Minangkabau disebabkan oleh pihak ketiga! Itulah kira-kira persepsi yang ada di masyarakat di luar tanah Minangkabau mengenai suku yang unik ini!
Kalau tidak salah, di dunia katanya hanya ada lima (5) suku yang menganut atau menerapkan sistim matrilineal selain di Minangkabau, Sumatera Barat; suku Sembilan di Malaysia yang tinggal di Negara bagian Sembilan, mereka ini orang Minangkabau di Sumatera Barat, ‘hijrah’ ke Malaysia, satu suku di Meksiko, satu suku lagi di sebelah selatan India (katanya bahkan di sini diperbolehkan perempuan mempunyai lebih dari satu suami (?) dan terakhir satu suku di Afrika!
Seperti kita ketahui diaspora/perantau Indonesia yang berasal dari Minang yang ada di mana pun terbagi tiga kelompok:
- Diaspora pendidikan
- Diaspora ekonomi
- Diaspora profesional
- Diaspora politik
Terlepas dari alasan apapun, kebanyakan orang Indonesia di Australia menyebar di berbagai ‘suburb.’ Tidak ada yang namanya ‘ghetto Indonesia’ seperti orang Vietnam, Italia atau Yunani. Ini disebabkan karena jumlah orang Indonesia tidak sebanyak orang Vietnam, Italia atau Yunani.
Katanya di zaman perdana menteri Australia ke 12, Robert Menzies (1949 – 1966), pemerintah Australia pernah minta kepada Sukarno orang Indonesia datang sebagai migran ke Australia tapi pemerintah Indonesia menolak, mungkin karena alasan patriotisme dan kebutuhan penduduk dan pada waktu itu, katanya Sukarno menanggapi: ”No, Indonesia needs more babies!”
Jadi bisa dikatakan semua diaspora Minang atau orang Minang di mana pun di dunia terbagi empat kelompok di atas, pendidikan, ekonomi dan professional dan politik. Jadi penulis sendiri hanya pernah bertemu dengan orang Minang yang datang ke Australia karena alasan ke tiga alasan pertama di atas yaitu pendidikan, ekonomi dan profesional. Tapi belum pernah bertemu dengan mereka yang datang ke Australia karena alasan ke empat yaitu politik.
Dulu, pernah penulis mendengar ada diaspora politik/G30S-1965, kata orang mantan anggota TNI tapi tidak sempat bertemu atau sampai saat ini pun belum pernah bertemu serta itu pun tidak disebutkan dari suku apa?
Artikel kali ini, penulis ingin membagi tulisan ini menjadi tiga (3) segmen dari sifat/karakteristik suku Minangkabau yaitu; bersaing, egaliter dan bahasa.
Seperti kata pengarang terkenal Minangkabau A.A. Navis, ada dua (2) sifat orang Minang yang dikaguminya yaitu semangat bersaing dan egaliter. Dan ada satu lagi seperti penulis sebutkan di atas, ternyata ada beberapa keluarga orang Minang anak-anak mereka yang lahir di Australia masih lancar berbahasa Indonesia, bahkan ada dari mereka yang masih bisa berbahasa Minang/Padang, tidak banyak memang dengan sedikit aksen Australia.
Semangat bersaing ini betul sekali. Terutama dalam hal masakan Padang. Ada anekdot, kalau suatu hari, manusia berhasil lagi mendarat di bulan dan bulan menjadi tempat tinggal maka restoran pertama yang ada di bulan pasti Restoran Padang!
Pak Tarumun (alm -https://youtu.be/DO1nOYDjbJs?si=mskHGbwJ3aJkdRcv ) dikenal sebagai pelopor restoran Padang di Australia, seorang bapak dan seseorang yang dituakan di lingkungan masyarakat Minang di Melbourne. Nama lengkap beliau adalah Sjahbandi Tarumun, lahir di Padang 12 Oktober 1937. Dan juga beliau lebih dikenal dengan nama Pak Tarumun dan beliaulah yang membuka restoran Padang pertama di Melbourne Bundo Raya di Commercial Road, Prahran.
Berhasil dalam usaha restoran di luar negeri tentu jauh lebih sulit dibandingkan dengan usaha restoran di Indonesia. Tantangan yang harus dihadapi pasti jauh lebih berat dan membutuhkan ‘keuletan dan ketangguhan yang teruji’. Di sinilah Pak Tarumun pantas mendapatkan acungan jempol. Sebelum pindah ke Melbourne dari Sydney, beliau punya restoran Padang yang bernama Bundo Raya di Darling Harbour, di pusat kota Sydney.
Mempunyai restoran tentu juga harus mempunyai ketrampilan bergaul yang luas dengan bermacam-macam kelompok masyarakat dan menguasai banyak topik pembicaraan yang beragam. Semasa beliau di Sydney aktif di Mesjid Tempe dan juga aktif di organisasi IMGT (Ikatan Masyarakat Guguk Tinggi) serta aktif di CIDE.
Di samping itu beliau juga memiliki pengetahuan agama yang luas dan pandangan yang toleran dalam diskusi lintas agama. Bisa berjam-jam diskusi agama dengan beliau. Sudah menjadi kebiasaan beliau setiap ustad yang datang ke Melbourne pasti singgah di Surau Kita, seperti Ustad Aep Saifullah, Agus Setiawan dan Irene Handono.
Mengenai egaliter, mungkin tidak ada yang mampu menyaingi orang Minangkabau. Ini bukan anekdot tapi cerita sebenarnya. Hanya di Minangkabau atau Sumatera Barat, untuk bertemu gubernur tidak harus menunggu berhari-hari tapi dalam satu atau dua hari bisa bertemu gubernur. Ini cerita dari seseorang yang pernah mengalaminya sendiri dan tidak mau namanya disebut di artikel ini.
Pernah di tahun akhir 60-an atau di awal tahun 70-an. Penulis bersama seorang teman orang Jawa, diundang makan makan siang di rumah Kepala PD & K di Padang, Pak Amir Ali (alm). Ternyata di meja makan juga ikut makan supir Pak Amir Ali. Makan siang yang menyenangkan dengan makanan yang lezat. Setelah selesai makan, penulis dan teman orang Jawa tadi pulang dan terjadi percakapan sbb:
- Mas, gimana kesannya tadi makan siang?
- Enak banget tapi pedes!
- Ada komentar Pak Supir ikut makan bersama kita?
- Wah itu, luar biasa, di Jawa tidak mungkin seorang supir ikut makan bersama majikan, sampai kapan pun!!
Kesan sepintas di perantauan, kohesi atau hubungan di antara mereka kuat/kompak sekali dan mesra. Sesama mereka, mereka bicara bahasa Minang dan ini menunjukkan apa kata A. A. Navis benar bahwa kohesi sesama orang Minang lebih kuat! Apakah dengan kata lain, persatuan orang Minang lebih kuat dibandingkan etnis orang Indonesia lainnya di perantauan?
DR. Suparto pernah mengatakan bahwa di kalangan keluarga muda orang Jawa, mereka tidak lagi menggunakan bahasa Jawa tapi mereka lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia sekarang ini.
Ini penting karena Paul Keating, perdana menteri Australia ke 24 dari Partai Buruh (1991 – 1996) waktu itu pernah mengeluarkan pernyataan bahwa lima (5) generasi orang pendatang/migrant akan menjadi orang Australia! Suatu pernyataan yang berani dan tentu berdasarkan suatu penelitian dan perkiraan yang tidak sembarangan!
Dalam wawancara Good Morning Indonesia with Poetry bersama Dr. Bambang Pratolo (https://youtu.be/dso8escrJAo?si=_dqz4pRY5v68_L4q) disebutkan bahwa orang tua punya peranan penting sekali dalam mempertahankan Bahasa Indonesia terutama bahasa percakapan dan lebih jauh disebutkan bahwa keluarga migran yang mempunyai keluarga besar mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berhasil dalam mempetahankan keindonesian mereka dibandingkan dengan migran yg datang dari keluarga yang lebih kecil!
Dan yang lebih penting lagi Dr. Bambang Pratolo menyebutkan jangankan generasi ke lima (5) generasi ke tiga (3) pun kemungkinan besar Bahasa Indonesia akan hilang.
Di sinilah, mungkin diaspora Minang/suku Minang lah yang punya kemungkinan masih bisa dan paling lama mampu mempertahankan Bahasa Indonesia atau mempertahankan keminangkabauan mereka melalui bahasa! Walaupun berbahasa Indonesia dengan sedikit aksen Inggris Australia tidak menjadi persoalan, sekurang-kurang orang Minanglah yang punya kemungkinan yang masih bisa berbahasa Indonesia terakhir di Australia atau di perantauan.
Walahualam!
Menutup tulisan mari kutip puisi dari Mohamad Hatta yang digubahnya sewaktu remaja (1921).
BERANTA INDERA
Lihatlah timur indah berwarna
Fajar menyingsing haripun siang
Syamsyu memancarkan sinar yang terang
Chajal tersenyum berpanca indera
Angin sepoi bertiup dari angkasa
Merembus ke tanah, ranting diguncang
Margasatwa melompat keluar sarang
Melihat beranta indra indra indah
Langit lazuardi teranglah sudah
Bintangpun hilang beranti-ganti
Cahaya Zuhari mulai muram
Haiwan menerima selawat malam
Hatipun girang tiada terperi
Melhat kekayaan subhan Allah
DIVINE CELESTIAL (DAWN)
See the east, a riot of colour,
The dawn is glowing, the day breaks
The sun strews its clear rays,
Imagination smiles, with all its five senses
A sfot breeze blows from the sky
Blows on the earth, a twig trembles
The wild beast leap out of their dens
On seeing the pure celestial beauty
The sky has become a clear azure
One by one the stars disappear
Even the luster of Venus begins begins to fade
The animals accept Nature’s greetings
The heart is joyful beyond words
To see the marvels of God the Perfect
((A. Teeuw, Modern Indonesian Literature, Martinus Nijhoff, 1967, hal 11)
Anton Alimin
Youtube: Good Morning Indonesia with Poetry