Oleh: Efri Yoni Baikoeni
(Dosen FKIP UM Sumatera Barat)

Pada tanggal 4 Juli 1948, Presiden Sukarno pernah berkunjung ke Kotogadang, Kec. IV Koto, Kab. Agam dan menuliskan kesannya terhadap desa itu. Ayah Presiden Megawati Soekarnoputeri itu menulis dengan penanya, “Kotogadang kotanya kecil, tetapi hatinya gadang”.

Itulah ungkapan kekaguman Sang Proklamator terhadap Kotogadang yang banyak melahirkan pejuang dan pemimpin bangsa sejak zaman kolonial hingga millennial. Dapat dibayangkan, daerah ini hanya setingkat desa dengan penduduk sekitar 2.589 jiwa (2021) namun siapa nyana, dari tempat sekecil inilah banyak lahir pejuang bangsa. Sebut diantaranya: Sutan Syahrir (Perdana Menteri pertama), Haji Agus Salim (mantan Menteri Luar Negeri) dan Ruhanna Kuddus (Wartawati pertama dan pejuang emansipasi wanita) yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Bermula dari Makan Malam

Sudah lama saya berkeinginan membawa mahasiswa FKIP UM Sumatera Barat melakukan pengabdian masyarakat di nagari yang indah permai ini. Namun belum juga kesampaian, sampai kemudian saya bertemu Bapak Budiarman, seorang diplomat Indonesia yang pernah menjabat Duta Besar RI untuk Tahta Suci Vatikan. Waktu itu tanggal 10 Maret 2025, saya diundang Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) pimpinan Dr. Dino Patti Djalal ke Jakarta sebagai narasumber dalam seminar mengenang wafatnya Prof. Dr. Hasjim Djalal. Kebetulan saya adalah penulis buku “Patriot Negara Kepulauan” yang diterbitkan tahun 2014. Usai berseminar, saya kemudian diundang makan malam oleh Bapak Budiarman beserta isteri di Plaza Senayan, Jakarta.

Saat dikenalkan kepada wanita bernama Ibu Syafyetty Arvian itu, Bapak Budiarman mengatakan kalau sang isteri berasal dari Kotogadang. Tidak hanya itu, wanita paruh baya berkacamata minus ini baru saja purna bakti sebagai Ketua Yayasan Kerajinan Amai Setia. Pembicaraan kami yang awalnya seputar buku dan pariwisata, serta merta berbelok ke Nagari Kotogadang.

Saat saya menyampaikan keinginan membawa mahasiswa mengeksplorasi potensi pariwisata Kotogadang, Bapak Budiarman mengenalkan saya dengan nama Jurian Andika. Dia adalah anak muda kreatif kelahiran Jakarta yang banting stir menjadi penggerak pariwisata di kampungnya. Sejak mengantongi nama “Rian”, saya berusaha menjajaki peluang kerjasama pengembangan pariwisata Kotogadang.

Tim Pendahulu “Advance”

Setelah disepakati dengan mahasiswa dan dosen, hari libur Waisyak tanggal 12 Mei 2025 menjadi waktu yang paling istimewa dalam menyelenggarakan pengabdian masyarakat untuk penduduk di kaki Gunung Singgalang tersebut.

Sebelum kedatangan rombongan, bersama dengan Tim Advance beranggota Nadya Rahmadisa dan Merlene, saya melakukan survei tanggal 9 Mei 2025 dan bertemu dengan Rian di KAGE Kafe di Kotogadang. Kedatangan kami disambut hangat dari waktu Ashar hingga menjelang senja. Rian banyak bercerita konsep bisnis pariwisata yang sedang dikembangkannya.

Pada saat itu, disepakati mengusung acara dengan empat sessi: 1) Self-guided tour kawasan Pusaka Nagari Kotogadang, 2) Pengajaran Bahasa Inggris Pariwisata “English for Tourism” untuk anggota Pokdarwis, 3) Sharing Session dalam inovasi pengembangan pariwisata, dan 4) Promosi dan pengenalan kampus UM Sumatera Barat kepada masyarakat.

Perjalanan dengan Bus AWR

Pada hari yang dinanti, dengan difasilitasi Dr. Andri Warman, MM sang mantan Bupati Agam, rombongan sebanyak 40 orang mahasiswa itu melaju dari Kompleks Perguruan Kauman Muhammadiyah Padang Panjang menuju Kotogadang. Perjalanan sejauh 25 km itu ditempuh selama 1 jam 30 menit. Kemacetan tidak dapat dihindarkan, tatkala bus melewati pasar Koto Baru yang hari itu merupakan hari pekan (setiap hari Senin).

Kegiatan yang berbasis di “Gedung Bawah” yaitu rumah warisan Datuk Kayo mantan anggota “Volksraat” yang gigih mempromosikan bahasa Indonesia tersebut, dibuka oleh Dekan FKIP UM Sumatera Barat, Dr. Gusmaizal Syandri, didampingi oleh Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris Rini Hendrita, MPd. Pengajaran Bahasa Inggris Bidang Pariwisata difasilitasi oleh Erlinda Syam, PhD., bersama dengan Mezia Kemala Sari, MA.

Self-Guided Tour Kawasan Pusaka

Menjelang Self-Guided Tour kawasan Pusaka Nagari Kotogadang dilaksanakan, Rian bersama dengan anaknya Jura memberi “induction” kepada seluruh peserta. Sesi ini dinilai penting untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana mengingat daerah ini termasuk kawasan Geopark Ngarai Sianok-Maninjau, salah satu Taman Bumi di Sumatera Barat dengan luas 91.781 ha.

Eksplorasi kawasan Pusaka Nagari Koto Gadang meliputi 14 situs bersejarah yaitu: Gedung Bawah (rumah warisan Datuk Kayo), Masjid Nurul Iman, Balai Adat, Prasasti Bung Karno, Rumah Kelahiran Haji Agus Salim, Rumah Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, Rumah Tinggi (rumah warisan Abdul Gani Rajo Mangkuto, orang terkaya di Sumatera Pantai Barat saat itu), Rumah Mohamad Rasjad (ayah Sutan Syahrir), Rumah Haji Agus Salim, Bekas Bangunan Hollandsch Inlandsche School, Rumah Kelahiran Ruhanna Kuddus, Kerajinan Amai Setia, Galeri Oesman Effendi (OE) dan Great Wall of Kotogadang.

Kawasan Pusaka Koto Gadang ini dideklarasikan tanggal 24 Februari 2005 yang ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh perwakilan kelompok masyarakat yaitu: Ir. RF Dt. Rangkayo Basa (Ninik Mamak), Tuanku Imam Nagari (Alim Ulama), Prof. Fadil Oenzil Sutan Arbi (Cadiak Pandai), Hj. Agusnas Masfar (Bunda Kanduang) dan Noveri Sutan Bahano (Urang Mudo).

Sharing Session Inovasi Pariwisata

Usai eksplorasi Kawasan Pusaka selama 2 jam, saatnya mahasiswa berbagi pengalaman dengan Rian, sang pendiri “KAGE SUMBAR”, sebuah badan usaha yang berdiri tahun 2023 dengan motto “Think Global. Act Local”.

Laki-laki berusia 42 tahun tersebut menjelaskan lika-likunya membangun usaha dengan memboyong keluarganya dari Jakarta. Tentu itu bukan keputusan yang mudah. Kota Jakarta bukan hanya sebagai tempat tinggalnya selama ini, namun juga adalah ranah kelahirannya.

Di ibukota itu pula, dia mendapatkan pendidikan agama Islam yang baik, sampai lulus pendidikan tinggi dengan mengantongi ijazah S-1 dari Universitas IPB jurusan Peternakan. Tidak hanya itu, di ibukota ini pula dia mengasah dirinya dengan berbagai kemahiran berbahasa seperti Inggris dan Spanyol. Di ibukota ini pula, Rian berkecimpung dalam banyak usaha, mulai dari menjual susu sampai menjadi “business analyst” pada perusahaan asuransi “Astra”. Dia juga kemudian mendirikan “NusantaRun” sebuah komunitas olahraga lari di ibukota. Di sini pula Rian menyusun konsep usaha yang akan diterapkannya di kampung halamannya.

Tepat pada usia 40 tahun pada 2023, Rian mengatakan “cukup” dan memutuskan pulang ke Kotagadang. Sampai di kampung, dia langsung mendirikan “KAGE SUMBAR” sebagai bukti keberaniannya mewujudkan mimpi berwirausaha.

Secara etimologis “KAGE” berasal dari dua huruf yaitu “K” dan “G” dalam Bahasa Indonesia yang diartikan dengan Koto Gadang. Jadi KAGE lahir sebagai panggilan kampung halaman dengan membawa nilai-nilai luhur untuk berkontribusi kepada masyarakat.

Jurian Andika.

Bagi Rian, “Jika kehidupan hanya sebatas mencari materi tentu tidak akan pernah ada “ending”-nya. Berapapun jumlah materi yang diraih, pasti manusia tidak pernah kenyang dan selalu merasa kurang”, katanya dalam suasana santai di hadapan 40-an mahasiswa FKIP UM Sumatera Barat.

Tujuan utama KAGE adalah berupaya melestarikan Kawasan Pusaka Koto Gadang terutama rumah-rumah tua yang indah yang tersebar di kampung itu. Selain untuk tujuan pelestarian, kawasan pusaka dapat pula dimanfaatkan secara ekonomi sebagai destinasi wisata apalagi bangunan tersebut memiliki nilai historis.

Untuk melayani wisatawan yang berkunjung, KAGE menyediakan restoran. Salah satu masakan khas Kotogadang adalah “Gulai Itiak Kotogadang”. Kuliner ini kemudian menjadi ikon nagari tetangga, Sianok.

“Masyarakat Sianok membawanya dari Kotogadang karena mereka berasal dari Koto Gadang, namun warga Kotogadang tidak tertarik memasarkan kuliner ini karena mereka berkiprah pada profesi intelek dan terdidik. Sementara orang Sianok memanfaatkan peluang itu dengan baik, sehingga terkenallah Gulai Itiak Lado Mudo dari Nagari Sianok”, kata Rian menjelaskan.

KAGE mengelola beberapa homestay yang merupakan rumah hunian yang tidak ditempati. Para perantau itu mempercayakan pengelolaannya kepada Rian. Rata-rata warga Koto Gadang merupakan perantau tangguh ke seantero Nusantara bahkan mancanegara.

KAGE juga menawarkan wisatawan untuk mengeksplorasi seni kerajinan tangan yang diproduksi dari nagari tersebut. Sebut diantaranya yaitu kerajinan perak (Silversmith) maupun sulaman (Embroidery). Sentra kerajinan ini bisa dikunjungi di Pusat Kerajinan Amai Setia yang didirikan pertama kali oleh Ruhanna Kuddus tahun 1915. Wanita yang dinobatkan sebagai wartawati pertama Indonesia ini adalah saudara perempuan dari Sutan Syahrir.

Dalam penjelasan Rian, para pengrajin baik Silversmith maupun Embroidery jumlahnya makin menyusut karena beralih ke profesi lain. Para pengrajin sulaman yang umumnya tergabung dalam Ibu-Ibu Koto Gadang tersebut membutuhkan waktu tidak kurang dari satu bulan untuk menyelesaikan satu helai salendang seperti “Kapalo Samek” dan “Suji Caia” khas Kotogadang. Selain itu terdapat pula motif lainnya seperti “Tarawang Biaro, “Tarawang Kasiak” dan “Tarawang Papan”. Karena prosesnya yang lama dan rumit itu, harga kain sulaman ini terbilang cukup mahal, bahkan ada yang dibanderol Rp. 2 juta per helai. Konon kabarnya pengrajin sulaman di daerah ini hanya tinggal sekitar 10 orang saja.

KAGE giat menjembatani para pengrajin ini dengan pemerintah dan pihak pengusaha agar pemasaran hasil kerajinan sulaman ini berkembang dengan pesat. Dalam kunjungan Wakil Menteri UMKM ke Kotogadang tanggal 11 Mei 2025 yang lalu, Bapak Helvi Yuni Moraza sempat memborong 10 helai songket di pusat kerajinan itu.

Sementara kerajinan perak di Kotogadang juga cukup terkenal. Karyanya setara dengan produk di Kota Gede, Yogyakarta. Dulunya menjadi penghasil utama masyarakat sejak dimulainya usaha ini tahun 1911. Kerajinan ini dikenal memiliki keunikan yang terletak pada bentuknya yang halus dalam setiap jengkal pembuatannya. Selain itu warnanya tidak terlalu berkilau sehingga serasi dikenakan oleh pemakainya.

KAGE juga menyelenggarakan kegiatan “workshops” untuk memahami proses kerajinan tangan (handycraft) tersebut dan kegiatan “event” tertentu.

KAGE juga menawarkan paket wisata jalan kaki maupun “trekking”. Karena Kotogadang termasuk kawasan Geopark Ngarai Sianok-Maninjau, tentu saja memiliki daya tarik alam yang sangat luar biasa. Mulai dari lembah yang curam, bukit yang terjal, sawah yang luas menjadi kombinasi pemandangan alam yang memukau. Selain itu kawasan Taman Bumi ini memiliki nilai edukasi yang tinggi. Geopark adalah wilayah geografis tunggal yang memiliki situs dan landskap dengan signifikansi geologis international, yang dikelola secara holistik untuk perlindungan, pendidikan dan pembangunan berkelanjutan.

Tidak hanya itu, KAGE juga melakukan pelestarian lingkungan dengan mengelola sampah dengan cara yang ramah lingkungan seperti pengembangbiakan maggot dan lain-lain.

Bagi Rian, apa yang sudah dicapainya saat ini tentu belum cukup, karena masih banyak obsesi lain yang ingin diwujudkannya seperti program layanan bus (shuttle service), penyewaan sepeda (bicycle rental), pendirian pusat informasi wisata dan penerbitan peta dan informasi wisata.

Peluang Kerjasama

Dengan visi dan aktivitasnya dalam mengembangkan pariwisata di Kotogadang, FKIP UM Sumatera Barat melihat berbagai program kerjasama dengan KAGE Sumbar demi mewujudkan Kotogadang sebagai “Destinasi Budaya dan Sejarah Pejuang Bangsa Indonesia” makin digandrungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Salah satu program sebagai pembuka langkah itu adalah penyelenggaraan kursus pengajaran Bahasa Inggris bidang Pariwisata “English for Tourism” bagi karyawan KAGE Sumbar maupun anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nagari Kotogadang. Semoga pada tahap berikutnya dapat dilakukan program-program lain yang sesuai dalam upaya mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Insyaalllah.

Bukittinggi, 15 Mei 2025

Editor: Budiarman Bahar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan