Budiarman: saya melihat ada opportunity, tetapi ruang lingkupnya masih kecil. Sekarang ini di Jakarta ada orang tua yang memanfaatkan homeschooling untuk anaknya. Homeschooling ini memiliki kebebasan yang lebih besar. Mereka hanya belajar yang akan diuji dalam ujian nasional. Pendidikan lainnya bisa mereka berikan terpisah. Kelemahannya, hilangnya kesempatan bersosialisasi bagi anak-anaknya. Tetapi itu ditutupi oleh upaya mereka sendiri dengan membuat program bagi anak-anaknya untuk bersosialisasi. Kalau ini diterapkan dalam konteks atau format yang lebih besar di Sumatera Barat (Sumbar), apakah mungkin, Pak Fasli ?
Sebenarnya, mungkin. Tapi dengan catatan karena biasanya orangtua yang memilih homechooling untuk anaknya adalah orangtua yang memiliki kesadaran yang baik, terdidik, karena dia pasti tahu resikonya dan anaknya sudah mendapat kompensasi dengan program yang diperoleh dari kedua orangtua dan keluarga dekat. Kalau anaknya tidak bisa bersosialisasi di sekolah lain, anaknya diterjunkan ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan sosial, seperti di sanggar dan lain-lain, untuk pengayaan. Apalagi kalau memang itu dilakukan sejumlah orang tua homeschooling bertemu, itu bagian dari kurikulum, bagian dari pembelajaran. Jadi tidak kesepian anak-anak itu.
Untuk keluarga yang berani dan relatif terdidik, saya kira itu pilihan yang bagus. Cuma, kalau kita lihat di Sumbar, sekarang keluarga itu relatif agak melemah. Kalau dulu tanggung jawab pertama dan utama itu memang di keluarga. Sedangkan keluarga itu berlapis. Di rumah gadang itu yang muda-muda, ibu-ibu muda, bapak-bapak muda memang kadang-kadang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk parenting, pengasuhan. Tetapi dikompensasi oleh eteknya, om-nya atau yang senior, kakaknya, atau yang lebih tua dan sudah punya anak. Jadi, ada cara untuk saling mendukung di dalam rumah gadang itu. Karena itu bagian dari suku. Jadi, tanggung jawab rumah gadang dan suku saling memperhatikan anak-kemenakan ini. Sebetulnya inilah homeschooling kita.
Tetapi kalau ini tidak ada, parah sekali. Keluarga muda itu akan lebih tidak tahu apa-apa nanti. Dengan begitu, anak-anak sudah-lah di rumah tidak dapat, umurnya berjalan, selain dari bersosialisasi tidak ada lagi. Sementara itu oleh pemerintah dan masyarakat diarahkan solusinya adalah sekolah. Itulah yang membuat gerakan homeschooling itu di Sumbar tidak terlalu besar, lain dengan di Jakarta dan beberapa kota di Jawa ini, mereka berani. Di kita, walaupun di Padang sudah agak lebih maju homeschooling-nya, mereka lebih mau mencarikan sekolah unggulan kemudian melatih anaknya dengan berbagai tes. Itu kan lebih kepada akademiknya saja. Jadi anak-anak dikejar untuk bisa masuk ITB, UI. Itu sah-sah saja, tetapi jangan dijadikan sebagai tujuan utama pendidikannya.
Budiarman: anak-anak homeschooling itu juga banyak yang masuk universitas unggulan itu.
Iya, tapi jumlahnya belum begitu besar. Seperti anak teman saya Sofyan Djalil, tiga anaknya di homeschooling dan di luar negeri semua. Memang dia serius dan memiliki kesadaran. Cukup banyak anak-anak aktivis membentuk itu dan kemudian begitu sadar bahwa sosialisasi anaknya terbatas meskipun sudah dikompensasi dengan kegiatan di sanggar, pramuka, dll. Tapi itupun dianggap tidak cukup, dan waktu itulah mulai terjadi gerakan karena sudah semakin banyak, seperti Kak Seto banyak membantu. Bergantianlah, ibu-ibu ini kalau keluarganya kerja, menyediakan satu hari dalam sebulan mendedikasikan waktunya untuk menjadi tuan rumah, bergilir. Sehingga homeschooling bisa berjalan, sosialisasinya juga berjalan. Kemudian orang ini menjadi tutor dan mentor, mereka terpaksa belajar juga apa yang mau dilakukan. Tidak disadari mereka juga jadi guru. Jadi dalam setting ini, sebenarnya home schooling ini cukup ‘kaya’.
Budiarman: Saya pikir, itu juga bisa membantu keluarga yang tidak punya, tapi harus ada dukungan keuangan untuk membantu, sepertinya pemerintah belum bisa memberikan.
Sebenarnya, kalau misalnya kita buat standar yang jelas, kita pahami kekayaan dari homeschooling dan pahami kelemahannya, kita carikan cara orang tua dan kelompok ini mengkompensasikan kelemahan, dia bisa diberikan BOSP (Bantuan Operasional Satuan Pendidikan ). Saya kan dulu Dirjen Pendidikan Luar Sekolah. Dulu homeschooling banyak ke kami, ke Ditjen saya dulu untuk paket-paketnya. Kita sambut mereka untuk dapat ijazah setara SD dengan Paket A. Setara SMP dengan Paket B, Setara SMA dengan Paket C supaya bisa masuk perguruan tinggi. Kita waktu itu hantam UI karena melarang, tidak menerima Paket C. Padahal di undang-undang asalkan dia lulus program kesetaraan dari homeschooling itu, wajib diterima kalau mau masuk. Misalnya mereka yang lulus Paket A, wajib diterima di SMP, apalagi yang Paket C wajib di terima di perguruan tinggi. Waktu itu yang tidak mau menerima TNI.
Budiarman: Mengenai perguruan tinggi asing, Pak Fasli, di Indonesia, sudah ada Monash University. (Prof. Fasli menambahkan ada juga Deakin University di Bandung, ada Western Australia). Bagaimana sistem pendidikannya di sini, memakai sistem kita atau boleh bebas?
Sebetulnya, mereka berhak memastikan capaian belajarnya dan kompetensi lulusannya yang dia patok. Itu dicapai oleh proses belajar dengan waktu yang disepakati. Jadi itu kita berikan kepada kurikulum mereka. Kita, Indonesia, hanya meminta mereka mengajarkan Bahasa Indonesia, PPKN dan agama kalau tidak salah. Ada empat mata kuliah dasar yang wajib diajarkan di sana. Walaupun sebagian mereka lakukan dengan memberikan assignment saja. Artinya, kalau mereka tidak mampu menyajikan kompetensi lulusan seperti di tempat asalnya, daya tariknya apa, padahal bayarnya mahal.
Budiarman: Bagaimana dengan prospek perguruan tinggi internasional di Sumbar, apakah memungkinkan.
Kita tidak punya uang. Sekarang untuk membayar SPP UNAND saja sudah berat. Kalu dilihat prospek ekonomi Sumbar sekarang, pasarnya, tidak berani mereka ke sana.(*) (Berlanjut ke bagian ketiga)