Orang Minang, sebelum merantau, yang laki-laki tidur di Surau. Karena Surau itu tempat pendidikan: Belajar kemandirian, belajar mengaji. Mengaji itu namanya adalah silek duduak (silat duduk). Mengaji itu belajar tentang mengaji diri, tasawuf. Di halaman surau ia belajar langkah kalau nanti diserang orang, ia tahu apa yang harus dilakukan. Lalu, belajar cara berbicara, di situlah dia tahu petatah- petitih. Barulah lengkap.

Menurut saya, orang tua kita dulu berhasil melakukan pendidikan. Lihat saja pendiri bangsa ini berapa persen orang Minang. Itu memperlihatkan keberhasilan orang Minang dulu dalam pendidikan. Sukarno mengakui, berpikirlah seperti orang Minang. Kalau kita ingin jujur, Sukarno belajar banyak belajar dari Tan Malaka, orang Minang. Sekarang kita perlu lihat lagi, berapa persen tokoh Minang kita, siapa yang menjadi panutan, siapa yang diperhitungkan di kancah nasional.

Itu jadi pemikiran kita bagaimana merubah mindset anak-anak muda Minang. Salah satunya saya berupaya, lewat budaya. Saya anggap dulu urang Minang itu merantau dari mamaknya. Sesudah ke luar surau, mamaknya  mencari guru silat untuk mengajarnya, dan bersama bapaknya, ia menyerahkannya seraya meminta tolong kepada guru tersebut untuk membekali anak-keponakannya.  Itulah yang disebut Adaik di isi, limbago dituang. Waktu itu, saya bersama Pak Eka membuat acara  di Batusangkar, bagaimana kembali menjadi orang Minang. 

Saya buat bagaimana  caranya manatiang adaik. Diserahkan benar oleh mamaknya  dan orang tuanya kepada seorang guru, “guru ajarlah anak kami ini,” kemudian diberikan kain putih. Saya keluarkan syarat itu, sebagai simbolik yaitu menyerahkan kain putih sagabuang.

Di kampung kalau kita minta diajarkan silat kepada seorang guru, dia akan bilang tidak bisa, tapi kalau di bawa simbolik tadi, yaitu  kain sagabuang, sirieh langkok, ayam, bareh, pitih, maka guru tidak akan menolak karena sudah di isi secara adat. Apa artinya itu, kain sagabuang ajarlah anak itu dengan kerelaan, isilah dia, seandainya dia mati karena bersilat, sagabuang  kain putih telah kami siapkan, kafankanlah dia. Sebegitunya mereka mengantarkannya untuk berguru.

Pisau tajam, tapi dimasukkan ke dalam  sarungnya. Filosofinya apa. Pisau itu setelah di asah dan tajam, dimasukkan ke dalam sarung, maknanya adalah silat itu berlatih dan berlatih. Kalau sudah pandai bersilat, tidak bisa seperti pisau itu dipergunakan untuk keperluan sembarangan, makai ia akan cepat tumpul. Begitu juga silat, tidak bisa sembarangan mempraktekkan, memukul dan mematahkan orang seenaknya, misalnya. Suatu saat akan kena sendiri. Kenapa, kalau pisau sudah tajam dimasukkan ke dalam sarung dengan tepat.

Murid Silat Harimau di kampung bersama Wagub Vasco.
(Foto koleksi Edwel Yusli.)

Jangan pula mencari sarung yang bungkuk karena akan dimakannya pula sarung itu. Pepatah Minang, nan bungkuak makanan saruang. Pisau awak luruih, saruangnya bungkuak, dimakannya saruang. Kanai jo saruang. Jadi, kalau sudah tajam, pandai bersilat, ia tetap  berlatih, berlatih. Silat Harimau ini harus  terus dilatih, kalau sudah tajam disimpan di dalam sarung, dipelihara dia.

Sirih melambangkan bahwa kita ini tidak hidup sendiri, kita  memiliki  niniek- mamak, memiliki  keponakan, dan ada juga bundo kanduang . Artinya, di dalamnya kita ini  lengkap, basamo awak. Sesudah itu bagaimana, sadanciang bak basi, saciok bak ayam, di gigitlah sirih itu,terasalah di dalamnya ada rasa asam ada rasa manis, ada rasa pahit.

Itu melambangkan gelombang kehidupan, dalam hidup itu akan timbul rasa enak, rasa sedih, dan lainnya, tapi kita bisa mengendalikannya, lewat mulut, di kunyah-kunyah. Filosofi sirih lainnya, kita mendo’a di dalamnya. Kalau ada di dalam tubuh kita itu ada jin, setan, ilmu hitam, dibongkarnya ke luar. Dibacakan ayat, itu untuk melemahkannya, seperti ruqyah.

Ada juga jeruk harimau, adanya di singgalang, jeruk berbentuk harimau. Dipotong dan airnya di minum, bacakan do’a, Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khabaaitsi ( Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari godaan setan jantan dan betina.”). Mintalah kepada Allah kalau ada setan jantan atau betina, keluarlah dari badan ini.  Itulah saciok bak ayam,  sadanciang awak satu.

Lalu di situ ada ayam Biriang, ayam jago. Sesuai juga dgn hadits nabi.  Ayam yang tahu orang mendapat siksa kubur ketika dia mengerang, dia tahu pula malaikat turun, berkokok dia menjelang subuh karena instinknya tajam. Ayam juga bisa melihat arah. Nabi yang mengatakannya, darah manusia adalah aliran untuk iblis masuk. Iblis itu masuk, lalu duduklah dia di belakang jantung, membisik-bisikan kepada manusia  waswasil khannas. Itulah yg membisikkan kejahatan  dari dalam.

Bagaimana caranya, dipotonglah  ayam tadi dengan membaca “Bismillah dan Allahu Akbar” dan lihat dadanya,  di situlah yag dikatakan Nabi  tempat Iblis itu duduk, di belakang jantungya, darahnya ke luar. Kalau itu busuk, busuklah seluruh batang tubuhnya, kalau bersih, bersihlah, tapi bagaimana membersihkannya, dengan zikrullah di tanam dalam hati dan dengarkan detak ketika membacakan kalimat Allah, Allah. Darah itu, di lumuri ke kaki, ke jempol kaki, itu melambangkan darah merah yang melambangkan api yang berasal dari periuk iblis.

Di dalam tubuh kita ada yang namanya nafsu amarah. Itulah yang bersekongkol dengan iblis. Dada kita berdebar cepat,  muka memerah, kalau diikutkan  itulah yang disebut nafsu yang semakin kuat. Orang kalau sudah nafsu, silatnya hilang, kependekarannya hilang. Nah  ini tidak, emosi ditekan, dipijakkan  sampai ke ujung kaki, itulah darah ke kaki. Dibacalah, “hai darah Bali”, (darah emosi, darah takut) turun lah kau ke tapak kaki.  Hai darah berani, naiklah engkau ke muka aku dengan kalimah “Allah, Allah.”

Dengan itu tegaklah dia, dalam Islam tegak dengan Jihad Fisabillillah, Kalau jihad seperti itu, kita tidak ada takutnya. Dalam Perang Imam Bonjol mereka tidak ada yang takut dengan bedil. Salah satu guru saya dulu, ada peluru meluncur, diikutinya  dimana bedilnya meletus. Diikutinya, apakatanya, kami berprinsip, kata guru kepada saya.  Prinsipnya, kalau Allah tidak mengijinkan kita mati, kita tidak akan mati. Disongsong benar peluru  itu, kalau tidak waktunya tidak mati kita, katanya.

Itulah yang dipakai oleh orang-orang Minang. Jika dibekali seperti itu, tidak canggung dia pergi merantau. Merantau dia dengan bekal. Kenapa begitu ?. Di kampung, kan sudah dikatakan,   Ka Rantau madang di hulu, babuah babungo balun. Merantaulah bujang dahulu, dikampuang alun baguno lai. Kini tambah pula ilmu di Rantau, Kalau sudah mantap ilmu di Rantau, pulanglah ke kampung, bangunlah kampung itu. Begitulah tingginya filosofi urang awak.

Sekarang hal-hal seperti itu sudah pudar. Sekarang dikatakan generasi “cemen”.  Saya ke kampung jadi malu, LGBT sudah berkembang,juga narkoba.  Ada  yang menyampaikan kepada saya, anak-anak kampung itu sekarang sudah ada pula germonya untuk mengisi hotel. Kan sedih kita melihatnya, sakit hati kita. Kita harus pelajari, kenapa. Tidak bisa menyalahkannya, kita harus kembali ke pangkal.

Apa pangkalnya? Berarti orang ini tidak tahu dengan  adat. Tidak jalan dengan sistimatika dulu. Keberhasilan-keberhasilan yang lalu sudah kabur. Itulah yang saya pompakan untuk menyemangati lembaga adat. Salah satu yang saya lakukan adalah dengan silat ini. Saya masuk  ke situ untuk membina generasi muda, tapi dibutuhkan perjuangan. Ada yang sinis dengan  saya, apa kerja datuak ini, silat bersilat saja, apakah uang bisa disilati. Ada yang bicara seperti itu. Apakah uang bisa masuk karena  silat itu.

Saya jawab, bahwa silat itu untuk memajukan anak bangsa, saya anggap guru-guru silat  masa dulu berhasil mengajar dengan keikhlasannya. Mereka tidak ada yang mendapat tanda jasa, tapi keberhasilannya terlihat. Bagi saya, sebenarnya itu kan kerja sosial.  

Apa yang bisa saya upayakan. Saya menyadari bahwa silat-silat dikampung kita ini tidak ada manajemennya. Saya pelajari, di kampung-kampung seperti itu. Lalu, tekhniknya berubah-ubah, dan tidak pernah tertulis. Budaya Minang ini, Pak, banyak berbicara, tetapi menulis kurang. Lalu, belajar dengan guru, hari ini A besok C atau D. Berubah-ubah, tidak terstruktur. Ada lagi prinsip dari urang awak, yang mana prinsip itu ada sebelum Islam masuk. Seganggam di urang, Sapinciak di awak. Ibaratnya, sepuluh ada di kita, berikan untuk orang tujuh. Paling banyak delapan banding dua, untuk kita.

Jadi kalau saya mempunyai murid, nanti prinsip murid saya begitu juga. Sudah dapat untuk dia delapan, diberikan pula ke muridnya enam. Itulah yang saya rombak, karena saya merujuk kepada Al Quran dan hadits. Kita sudah mencanangkan bahwa orang Minang itu Adat Bersendikan Syarak – Syarak Bersendikan Kitabullah.

 Islam itu menuntut kita masuk secara kafah, masuklah sepenuhnya. Jangan masuk Islam itu tanggung-tanggung, lalu di Islam diajarkan  “sampaikan walaupun satu ayat”. Jadi itulah ilmu yang bermanfaat. Kalau saya beda, saya punya ilmu sepuluh, kalau bisa saya berikan lima-belas. Saya yakini bahwa ilmu berasal dari Allah, kita manusia cuma menggunakannya. Berdosa kalau kita simpan-simpan apalagi dibawa mati, pasti nanti diminta pertanggungjawaban kita. Kita punya ilmu kenapa tidak diajarkan. Di adili kita nanti. Saya memakai azas ini,  tapi ada yang mengatakan kepada saya, kenapa dibuka-buka saja kepada orang asing, orang kafir.

Budiarman:  kalau di silek Chino macam itu pula, Datuak. Kalau dia memiliki sepuluh jurus, dia berikan hanya tujuh. Takut kalau nanti muridnya berkhianat, melawan dia.

Ya, dia takut berhianat karena tidak bersandar pada agama. Kalau dia bersandar pada agama, ia sadar bahwa (kalau ilmu disimpan saja) dia akan berkhianat kepada Al Quran dan Rasulullah. Di Silat Harimau, saya mengajarkan agama.

Budiarman: Kalau pembentukan karakter, mental melalui ajaran agama itu berhasil ditanamkan maka dia tidak akan berkhianat.

Iya, betul. Alhamdulillah, Gebu Minang, menggerakan ekonomi dan budaya, sekarang ini di Gebu Minang budaya menjadi sayap, Karena itu Silat Harimau menjadi bagian Gebu Mnang (*)

Penulis: Budiarman Bahar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan