Edwel Yusri Datuk Rajo Gampo Alam: Membangun Karakter Anak Bangsa dengan Silat Harimau

Edwel Yusri Datuk Rajo Gampo Alam dan lambang Silek Harimau.

Edwel Yusri Datuak Rajo Gampo Alam, Guru Besar Perguruan Silat Harimau, salah satu silat tradisional Minangkabau yang mendapat inspirasi dari Gerakan Harimau.  Datuak Rajo Gampo Alam mencoba membangun kembali karakter anak bangsa melalui Perguruan Silat Harimau dan sebagai pewaris ilmu silat ini,  Datuak Rajo Gampo Alam berupaya melestarikan warisan budaya ini. Untuk itu, diperlukan organisasi yang baik dan beliau telah menata kembali perguruan ini dengan memperbaiki organisasinya dan membina kader-kader pesilat muda. Sekarang Silat Harimau sudah memiliki cabang di lima belas propinsi dan masih akan bertambah. Perguruan ini juga memiliki murid-murid di berbagai negara yang berprestasi di kejuaraan silat internasional.

Selain itu, perguruan ini sudah mendapat pengakuan pemerintah dan komunitas persilatan nasional. Cita-citanya ikut membangun karakter anak muda kita, perlu di dukung oleh padepokan yang memadai.  Sekarang Datuak Rajo Gampo sedang merencanakan mendirikan pusat padepokannya di Kubang Putih, Kabupaten Agam, untuk menopang kegiatannya. Ini tentunya tidaklah mudah, diperlukan uluran tangan masyarakat Minang dimana saja agar padepokan ini dapat terwujud untuk melestarikan dan mengembangkan warisan budaya ini.

Mengenai perkembangan silat Minang, khususnya Silat Harimau sekarang ini, Minangglobal.com berbincang dengan Datuak Rajo Gampo dan Sekjen Silat Harimau Nanda Fitrihanif Furqoni mengenai perkembangan silat Minang, khususnya Silat Harimau sekarang ini dan apakah falsafah Minang ikut mendasari Silat Harimau ini.

Untuk menjawab itu saya perlu menjelaskan sekilas sejarah silat di Minangkabau. Banyak aliran-aliran silat di Minangkabau, seperti Silat Pauh di Padang. Dulu berhimpun orang-orang Minang membuat gabungan beberapa silat dari berbagai nagari seperti Solok, Bukittinggi, Payakumbuh untuk menghadapi Belanda di Pauh, disebut Silat Pauh. Kemudian Silat Pauh  berkembang di Padang.

Di Pariaman ada silat bernama Silat Sunua yang dikembangkan oleh Syeikh Burhanudin yang berasal dari Pariangan. Beliau belajar ilmu agama, ilmu kebatinan. Dari situ beliau pergi ke Pariaman bertemu Syeikh Madina.  Setelah selesai berguru dengannya, Syeikh Madina menyarankan kepada Syeikh Burhanudin untuk memperdalam ilmunya dengan gurunya di Singkil,  Aceh., yaitu Syeikh Abduh.

Selesai berguru, ia kembali untuk mengembangkan  agama dan mendapat perlawanan di Pariaman. Tetapi akhirnya agama Islam diterima. Di situlah pertama kali acara Balamang, waktu ia ingin diterima oleh masyarakat di sana, ia dijamu makan. 

Ketika itu masyarakatnya masih menganut agama Hindu-Budha. Syeikh Burhanuddin menawarkan, boleh kalau mau menerima saya dengan jamuan makan. Ia meminta mereka memasak  beras ketan di dalam bambu yang dilakukan di tepi pantai. Di masak-lah ketan di dalam bambu.  Di situlah pertama kali Balamang.

Berkembanglah Silat Sunua karena dari Nagari Sunua, di Pariaman. Jadi nama silat disesuaikan dengan nama nagarinya. Di Agam, berkembang Silat Tuo, Staralak, dan Silat Harimau. Sebenarnya Silat Harimau  ini  diajarkan oleh Rajo Minangkabau, Datuak Suri Dirajo. Datuak Suri Dirajo punya panglima yang mengembangkan Silat Harimau Champa, bersama Anjiang Mualim, Kambiang Hutan, Kuciang. 

Lalu yang ke Agam berkembanglah Silat.Harimau.  Datuak Sari Dirajo punya pengawal yaitu Angku Gadang dari suku Sikumbang. Sikumbang ini, artinya harimau hitam. Suku Sikumbang  ini termasuk yang berkembang dan banyak anak laki-lakinya, dan di bekali dengan ilmu bela diri, yaitu Silat Harimau, dikenal juga dengan Silek Inyiek. Sikumbang juga yang  mengamankan ketika terjadi keributan di Pariangan yang juluki Harimau Champa. Harimau Champa ini memang berasal dari Champa tapi dilatih oleh Datuak Sari Dirajo.

Latihan Silat Harimau. (Foto minangglobal.com)

Harimau Champa ini ditugaskan oleh datuk Sari Dirajo untuk mengembangkan nagari ke Agam, ke daerah Darek. Berkembanglah negerinya ke daerah Agam, daerah Darek, utamanya. Maka berkembanglah, terutama di suku Sikumbang. Kebetulan saya sendiri  suku Sikumbang di Balingka,  bergelar Datuk Rajo Gampo Alam, sudah generasi kesekian, dan  saya menjalankan titah dari moyang saya  bernama Inyiek Angguik.

Dari Inyiek Angguik ada beberapa guru saya di dalam Silat Harimau. Silat Harimau  itu dulu bernama Silek Inyiek. Kebetulan moyang saya punya  harimau, sampai delapan harimaunya.  Dia juga  pawang harimau. Kami tinggal di atas bukit di Balingka. Tetapi tidak ada yang mewarisi untuk memelihara harimau karena terlalu repot. Dari situlah muncul istilah seperti galuik harimau karena sering bergelut dengan harimau, tangkok harimau, langkah ampek.

Di Batusangkar, ada lagi yang mengembangkan silat, namanya Syeikh Kumango dari Nagari Kumango. Di Lintau, ada pula Silat Lintau, Silat Lintau ada sembilan nagari yang bergabung sehingga silatnya disebut Silat Lintau, tapi kalau masing-masing nagari, silatnya bukan Lintau namanya, memiliki namanya sendiri, banyak pula macamnya. Pergi ke Payakumbuh, ada lagi silatnya di Payakumbuah.

Di Pasaman berkembang Silat Harimau yang sebenarnya untuk tempur. Dulu kita mengenal Harimau nan Salapan. Di dalam grup tuanku Imam Bonjol. Jadi, sako (warisan) yang saya teruskan ini, Silat Harimau Minangkabau, saya mengajarkan  juga kepada orang luar, ada yang dari Inggris. Saya sempat mengikuti undangan pertemuan bela diri bersama Adek (M. Hariadi Anwar) ke Prancis dan Belgia. Saya pernah melatih di Prancis untuk orang sipil dan militer. Juga melatih di Austria beberapa bulan, ada juga tentara Austria ikut berlatih.  Pernah pula di Munchen, Jerman. Banyak juga komunitas urang awak di situ.

Alhamdulillah, Silat. Silat harimau popular di sana. Saya kembangkan silat memainkan Karambit (senjata harimau). Sejarahnya, kuku dan taring harimau dulu dipakai untuk mewakili senjata Silat Harimau. Tapi kemudian dipakai Karambit  yang merepresentasikan  kuku atau taring Silat Harimau. Senjata itu sekarang dianggap nomor dua yang berbahaya setelah pistol. Pasukan elit AS memakai Karambit, begitu juga di Prancis. Namun mereka tetap mengatakan ini senjata dari Minangkabau, Indonesia.

Kebetulan Silat sudah diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia. Saya pernah sampaikan kepada Pak Fadli Zon agar Karambit  ini juga diajukan ke UNESCO sebagai warisan dunia.

Silat Harimau ini saya pakai untuk character building bagi anak-anak Indonesia, khususnya Minang. Di luar sudah berkembang, tetapi di dalam negeri sendiri bagaimana. Saya lihat di luar negeri itu mereka berlatih intensif dan selalu di analisa. Saya khawatir, suatu saat nanti orang Indonesia pelatihnya berasal dari orang asing.

Kebetulan ada orang Inggeris, dia mencari saya untuk belajar Silat Harimau lebih dalam, katanya.  Menurutnya, dia di sini juga melatih silat, di Pondok Indah. Ya, saya dibiayai orang Pondok Indah. Kita hanya bisa tercengang saja melihatnya. Dia sendiri dilatih oleh kita, tapi orang Pondok Indah mengundangnya untuk melatih Silat Harimau. Seperti kata urang awak, “cadiak bajua, bodoh babali.” Kalau orang asing yang datang mereka semangat, tapi kalau orang kita sendiri, mereka memandang sebelah mata saja.

Baiklah, karena itu saya mau melatih orang luar itu. Gunanya, untuk membangkitkan kesadaran orang Minang, terutama orang Indonesia. Mereka harus tahu bahwa kita punya budaya yang tinggi. Mempunyai filosofi dalam hidupnya karena membentuk karakter tadi. Contoh, di Silat Harimau itu ada filosifi dasarnya, yaitu belajar di nan ampek. Itulah yg dikatakan urang Minang. Orang Minang harus tahu di nan ampek, kalau tidak tahu di nan ampek, hilang Minang, tinggal kabau, kakinya jadi kaki ampek.

Apa yang orang Minang harus ketahui nan di ampek. Harus tahu  dengan  kato nan mandaki. Mandaki ini adalah bagaimana etika seorang anak kepada orang yang lebih tua. Misalnya, Anak kepada bapaknya, kakeknya. Tidak bisa berbicara seenaknya. Sekarang orang Minang sudah banyak yang tidak tahu siapa mamaknya, tidak tahu siapa datuaknya.  Ada yang menjawab ketika saya tanya apa sukunya ?, ya……  Minang, katanya.  Nah tidak tahu  dia bahwa di  Minang ada banyak suku, ada Chaniago, ada Piliang, ada Sikumbang. Saya minta dia bertanya kepada orang tuanya, siapa datuaknya. Nah ini sudah mulai tipis pengetahuannya. Apalagi ditanya siapa mamaknya. Dia harus mengerti mamaknya. Ada filosofi Minang, anak dipangku kemanakan dibimbing, urang kampuang dipatenggangkan. Nah yang seperti ini sudah mulai pudar, sementara itu yang mamak juga tidak tahu tugasnya sebagai mamak. Kalau pulang kampung, kadang-kadang kita temukan seorang keponakan sudah pandai melawan mamaknya. Berarti sudah hilang di nan ampek itu.

Kato nan mandata, itu adalah bagaimana prilaku kepada sebayanya. Di silat, saya ajarkan kepada anak-anak itu. Dalam silat, kepada teman seumur saling menghormati, Kato nan manurun adalah prilaku menyayangi kepada yang lebih muda. Tidak diperlihatkan keakuan, “saya kakak kamu, nih”. Jadi, harus menyayangi yang lebih kecil. Nan Malereng, kalau tamu-tamu datang, bagaimana memperlakukan tamu. Adabnya, tamu itu diistimewakan sesuai ajaran Rasulullah SAW, karena kita masih memakai Adat Basandi Sarak- Sarak Basandi Kitabullah. (Bagian pertama dari dua tulisan)

Penulis: Budiarman Bahar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan