“Adat Ma’antakan Bali dan Ma’antaan Pabukoan (Ramadhan Anak Daro) Minangkabau”

Oleh: IRS. Datuak Gampo Sinaro
PENDAHULUAN
Menjalin hubungan kekerabatan antar keluarga pihak suami (Marapulai) dan istri (Anak Daro) yang belum lama menikah (Baralek) menjadi suatu kewajiban dan kebiasaan (tradisi) bagi masyarakat adat Minangkabau pada umumnya, kanagarian Suliak Ayie, khususnya. Acara ini dalam rangka menjalin hubungan silaturrahim antar keluarga secara adaik dan budaya yang berlandaskan pada Syari’at.
Ma’antakan bali (sebelum masuk-Nya 1 Ramadhan) dan ma’antaan pabukoan dalam rangka; babuko basamo (Buka bersama Bukber) ala Minangkabau yang berkesinambungan dan sekaligus menjadi ritual pendidikan dalam dinamika hidup serta kehidupan sosial yang bermula dari keariefan lokal.
ADAT MA’ANTAKAN BALI
Pihak keluarga Marapulai (suami) “mengantarkan berbagai macam bahan makanan yang masih mentah” diantaranya: Ayam dan ikan hidup, beras dan/atau sipului dan tepung beserta bahan-bahan pembuat kue (makanan ringan) dan lain sebagainya pada keluarga Anak Daro (istri). Itu dikarenakan berdirinya suatu “rumah tangga baru” pada pranata, tatanan dan peradaban adat Minangkabau (matrilinial) dirumah pihak keluarga besar wanita.
Disinilah dapat dilihat kepiawaian pihak istri (anak Daro) dalam hal “masak-memasak”, nanti akan menjadi mande (Ibu) dan kemungkinan besar beperan sebagai; mande Sako (Bundo Kanduang) dalam kaum dan suku maupun nagari yang berbudi luhur dan berakhlakul karimah. Hadis Nabi Muhammad SAW: “sesungguhnya dunia itu perhiasan dan sebaik-baik-Nya perhiasan adalah Wanita Saleha”. (HR. Muslim). Gurindam adat Minangkabau menyatakan;
Limpapeh rumah nan gadang
Ambun puruak, pegangan kunci
Pusek jalo, pupunan ikan
Duduak nan marawik anjau
Tagak nan maninjau jarak
ADAT MA’ANTAAN PABUKO-AN
Setelah bahan makanan yang diantarkan pihak keluarga Marapulai (suami) untuk dimasak dikediaman Anak Daro (istri), “ditambah dengan segala resep masakan khas” Minangkabau untuk mengejewantakan nilai-nilai dan norma etika dan estetika memasak sesuai “ghotie (harkat dan martabat) keluarga, kaum dan pasukuan pihak Anak Daro sebagai Sumandan bagi keluarga (Marapulai), kerabat, kaum dan Pasukuan pihak Suami (urang Sumando) dalam kaum dan pasukuan si-istri”.
Maka, masakan yang diantarkan pada keluarga dan kaum pihak Marapulai (suami) sebagai hidangan dalam konteks yang Islami sebagai hidangan “pabuko-an/bukber” dan ditambah serta dilengkapi oleh pihak kerabat Marapulai (suami/urang Sumando) sebagai “menu babuko basamo” bersama keluarga dan kerabat Marapulai dan Anak Daro! didalam “raso” persaudaraan Marapulai sebagai kandidat Absolut (mutlak)sebagai Mamak Pusako, dan berkemungkinan “kelak di kemudian hari menjabat Panghulu, dan/atau Datuak!”. Sabda Rasullullah SAW: “Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tampa mengurangi pahala orang berpuasa”. (HR. Tirmidzi)
KESIMPULAN
Pada konteks inilah peradaban Minangkabau, Suliak Ayieh khusus-Nya mengimplementasikan dan menyelenggarakan pranata kebudayaan yang arief dan bijak dalam mengamalkan filosofi: Adaik nan basandikan Syarak, Syarak nan basandikan Kitabullah (ABS-SBK) dengan makna; “Syarak mangato, adaik mamakai” dalam artian: “Syarak nan lazim, adaik nan kawi”. Sejalan dengan pantun adat:
Kaluak paku kacang balimbiang
Tampuruang lenggang-lenggokan
Dibaok nak rang Saruaso
Anak dipangku, kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Dijago adaik ja’an binaso
04 Maret 2025M / 04 Ramadhan 1446H
Editor: Budiarman Bahar