Oleh: Datuk Gampo Sinaro

Kebiasaan “bakan bajamba” ialah hukum minum dan makan adat sebagai keariefan lokal yang bersifat primodial di ranah Bundo. Budaya tradisional Minangkabau pada umumya, Kanagarian Suliak Ayieh khususnya, yang kini menjadi bagian kebudayaan nasional.

Makan bajamba bermula dari hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Bahwasanya para sahabat bertanya pada Rasullullah SAW: “Mengapa kita makan tetapi tidak kenyang-kenyang?” Rasullullah SAW balik bertanya; “apakah kalian makan sendiri-sendiri?” dan mereka menjawab: “Ya (kami makan sendiri-sendiri). Rasulullah pun menjawab: “Makanlah kalian bersama dan bacalah basmalah, maka Allah SWT akan memberi berkah pada kalian semua.” (HR. Abu Dawud).

Di sinilah peradaban Minangkabau mengaktualisasikan Sunnahtullah pada “makan ala Minang” dengan duduak sahamparan dalam pranata tatanan dan peradaban yang Islami agar memperoleh barokah dari Allah SWT.

“Makan bajamba” memiliki nilai dalam norma kebersamaan pada acara kemasyarakatan. “Makan bajamba” dapat mengukur kemampuan finansial shohibul hajat agar terhindar dari mudhorat. Hasil kajian Niniak Mamak Minangkabau, presentase terbuangnya makanan ketika baralek (resepsi); 25 s/d 32 persen pada makan prasmanan dan 7 s/d 11 persen bajamba”, banyaknya makanan terbuang menimbulkan mubazir.  Serta, “mubazir berakibat dosa” bagi masyarakat adat Minangkabau.

Jamba artinya satu pinggan (piring nasi telah dilengkapi lauk-pauk) sesuai dengan versi alek yang berbeda-beda di setiap nagari, akan tetapi ia harus dalam koridor tatanan baku Minangkabau yang diawali dengan pitatah jo patitieh diselenggarakan oleh; komponen dan element adaik, yaitu “urang Sumando (selaku janang), Niniak jo Mamak (sipangka alek/Shohibul hajat) dan Alek-jamu nan duo lareh kadudiak-an (para undangan) dalam suatu penjamuan makan bajamba dalam bakanagarian di Minangkabau.” (*).

Editor: Budiarman Bahar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan