Nagari Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, seolah ditakdirkan menjadi kota yang lengang karena penduduknya pergi merantau. Bukannya tidak subur tempat ini, namun karena sebagian besar “anaknya” gemar menuntut ilmu atau sekolah ke luar nagari, ketika lulus mereka bekerja dan enggan kembali ke tanah asalnya.
Seperti halnya Haji Agus Salim dan Sjahrir, mereka pergi merantau untuk mengasah ilmu dan menjadi tokoh besar di luar Sumatera Barat.
Sebaliknya dengan Jurian Andika, di usianya yang sangat produktif, yaitu 40 tahun, dia justru meninggalkan Jakarta yang sibuk dan memilih tinggal di Kotogadang yang sepi. Satu tempat yang kontras dengan tempatnya lahir dan besar, yaitu Jakarta.
Jurian Andika tidak sendirian memutuskan menetap di nagari tempat kelahiran tokoh pers perempuan Ruhana Kuddus ini, namun juga beserta istri dan seorang anaknya yang masih SD, kemudian juga menyusul adik perempuannya.
Rian—begitu Jurian Andika disapa–memang tidak lahir di Kotogadang, namun kedua orang tuanya lahir di ranah Minang tersebut. “Saya lahir dan besar di Jakarta. Ke Kotogadang selama hidup tidak lebih dari lima kali,” kata Rian, dalam perbincangan dengan minangglobal.com di salah satu café di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (8/2) siang.
Kala masih bujang selepas lulus dari Jurusan Peternakan IPB, Rian bercita-cita kalau usianya 40 tahun akan tinggal di desa. Cita-cita ini tidak bisa ditawar-tawar. “Feeling orang desa yang terjebak di kota, dari lahir secara jiwa,” kata Rian.
Cita-cita itu lalu disampaikan ke pacarnya. Sang pacar pun setuju. Waktu itu tidak tahu akan tinggal di desa mana dan pulau mana. Asalkan, seperti yang didambakan, bukan daerah yang bising. Rian yang waktu itu sudah bekerja di salah perusahaan asuransi besar mensurvei kecil-kecilan daerah yang kelak tempatnya merantau, di antaranya Maluku, Papua, termasuk Jawa. “Tapi Jawa sebenarnya bukan pilihan saya karena sudah terlalu kota,” katanya.

Tahun 2009 Rian menikah. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 2023, keinginannya untuk tinggal di desa tersebut terkabul. Desa pilihannya justru tempat leluhurnya, Kotogadang, kota yang sepi, indah dan berhawa sejuk.
Ketika negeri ini dikoyak Covid-19, ketika masyarakat diharuskan kerja dari rumah (work from home/WFH), Rian yang bekerja di bagian bisnis analis memilih tinggal di Kotogadang bersama istri dan anaknya. Mereka mengendarai mobil sendiri 30 jam lamanya dari Jakarta ke Kotogadang.
Di rumah pusaka leluhur ibunya itulah Rian, selama 2020 hingga 2021, tinggal dan bekerja di rumah tersebut.
“Di situ terbuka bahwa Kotogadang ini indah. Ini desa sesuai dengan bayangan saya, sepi tapi potensinya banyak banget. Saya tahun 2022 diminta kantor saya balik ke Jakarta. Tahun 2023, tepat usia saya 40 tahun, 1 Mei, saya mengajukan resign dan memutuskan tinggal di Kotogadang,” katanya.
Mengundurkan diri dari tempatnya bekerja selama 13 tahun, Rian awalnya akan melakukan integrated farming, sesuai latar belakang pendidikannya. Namun dia juga gandrung sejarah dan heritage.
Ketika sudah tinggal di Kotogadang Rian sering melihat turis berseliweran di desa itu. Sehari bisa sampai 10 kendaraan membawa turis hilir-mudik di Kotogadang, namun hanya sekejap saja singgah. Turis yang mampir bukan hanya wisnu namun juga wisman, kebanyakan dari Belanda dan didominasi orang-orang tua.
“Mengakomodir orang-orang datang ke kampung, clingak-clinguk, saya tanya ‘ke mana?’ kemudian saya antar. Kemudian terbentuk oleh alam saja kemudian jadinya saya ke pariwisata, khususnya ke sejarah dan kerajinan tangan,” kata Rian bercerita awal mulanya terjun sebagai penggerak pariwisata di Kotogadang.
Menurut Rian, wisatawan asing ke Kotogadang mau melihat sejarah dan budaya, bukan mau melihat sawahnya. Karena andalan Kotogadang, kata Rian, pertama adalah objek sejarahnya. Kedua, kerajinannya. Dan ketiga pemandangan alamnya (pemandangan alam di urutan terakhir atau bukan andalan karena semua tempat di Sumatera Barat pemandangannya indah).

Dari segi sejarah, Rian menggambarkan Kotogadang dulunya adalah kawasan pusaka yang modern. Bangunan-bangunannya sudah gaya indis ala Belanda walaupun di kampung, berbeda dengan desa lain yang atapnya berbentuk bagai tanduk kerbau, bergonjong. Rumah-rumah di Kotogadang, yang kala itu bagian dari Bukittinggi Raya, dianggap arsitekturnya sudah kebelanda-belandaan.
“Belum lagi tata ruangnya, berupa klaster-klaster, single entri, tapi ada jalan arterinya, ring road, walaupun level kampung. Itu unik,” kata anak pertama dari dua bersaudara ini.
Lalu penduduknya jiwa menuntut ilmunya tinggi. Terkenal di jaman itu warga Kotogadang gemar merantau untuk mencari dan menyebarkan ilmu sampai ke penjuru negeri, karena itu tidak mengherankan banyak tokoh-tokoh besar negeri ini kelahiran Kotogadang.
Tahun 2022, ketika belum menetap benar di Kotogadang, Rian membuat Heritage Walking Tour atau Wisata Jalan Kaki di Kotogadang. Buat poster, membuka pendaftaran dan bayar sukarela. Ternyata ada peminatnya.
Masih di tahun 2022, ketika mudik Idul Fitri baru pertama kali dibuka pemerintah pasca Covid-19, Rian menawarkan lagi paket Heritage Walking Tour. Kali ini yang daftar dan ikut 20 orang. Rian sebagai guide sendiri.
Rian bekerjasama dengan perusahaan snack khas Kotogadang, kue ruwo. Jadi habis jalan-jalan nge-teh atau ngopi dan makan kue di rumah ibunya yang dibuatnya ala kedai (eatery), atau Kage Eatery.
Berikutnya, di tahun 2023, ketika sudah resign dari perusahaan tempatnya bekerja dan benar-benar menetap di Kotogadang, Rian membuat lagi walking tour.

“Tahun 2023 buat walking tour lagi, karena sudah punya pengalaman. Kemudian bikin Kage Eatery di rumah. Waktu itu mikirnya yang modal paling tidak banyak keluar. Low cost. Di rumah ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk eatery,” ujarnya.
Tahun 2023 Rian meluncurkan brand. Namanya Kage. Tidak lama setelah membuat Kage, melalui Instagram, Rian ditawari Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Agam, untuk mengikuti Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2024. Rian bersedia dan segera dibentuklah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kotogadang.
“Sejak lama Kotogadang sudah diincar Dinas Pariwisata Agam untuk dikembangkan. Kalau potensi sebenarnya banyak, tapi tidak ada penggeraknya,” kata Rian.
Pendaftaran ADWI tahun 2024 dibuka Maret dan ditutup April. Rian dalam tempo singkat harus menyiapkan profil desa, foto dan video yang nantinya untuk disubmit. Hasilnya tidak sia-sia, sebagai pendatang baru, dari 6000 desa yang mengikuti ADWI, Kotogadang masuk 300 besar.
Tahun 2024, selain mengikuti ADWI, Rian melalui Kage menyelenggarakan event besar, yaitu Festival Haji Agus Salim, yang diselenggarakan Oktober sampai November 2024, bekerjasama dengan Yayasan Hadji Agus Salim yang berkedudukan di Jakarta.
Festival Haji Agus Salim dibuka bulan Oktober di Kotogadang dan November ditutup di Jakarta. Bulan Oktober adalah bulan kelahiran Haji Agus Salim (lahir 8 Oktober 1884), dan November bulan meninggalnya Agus Salim (14 November 1954).
Pada 19 Januari 2025 Rian menyelenggakan Pejalan Nagari Walk 2025, yaitu sebuah event olahraga wisata (sport tourism). Acara yang didukung Bank Nagari ini menawarkan kombinasi unik antara olahraga, eksplorasi wisata alam, wisata sejarah, pelestarian budaya, dan kesadaran lingkungan.
Dengan mengusung semangat kebersamaan dan harmoni lintas sektoral, Pejalan Nagari Walk 2025 bertujuan untuk mempromosikan acara sport tourism berbasis budaya dan lingkungan sekaligus mengangkat dan mempromosikan berbagai potensi nagari beserta keindahan alamnya secara khusus potensi Nagari Koto Gadang dan Sumatera Barat pada umumnya kepada khalayak lokal, nasional, dan internasional.
Menurut Rian, acara ini digagas dan diselenggarakan oleh Asosiasi Pejalan Kaki Sumatera (Sumatran Walkers Association), yang didirikan Februari 2024 di Kotogadang dengan visi memperkenalkan keindahan Sumatera Barat kepada dunia melalui kegiatan olahraga dan wisata yang berkelanjutan. Berbekal semangat, bersama berbagai komunitas dan lembaga lainnya dari berbagai kota di Sumatera Barat, asosiasi ini membangun sistem kerja kolaboratif untuk menyelenggarakan Pejalan Nagari Walk 2025.
Kini yang menjadi obsesi Rian adalah menginisiasi pusat informasi turis atau tourisme information centre. Tempatnya sudah ada. Melalui pusat informasi ini wisatawan akan mendapat gambaran umum tentang Kotogadang dari sisi sejarah dan budaya.
Saat ini Kage banyak menghandle kunjungan grup-grup wisatawan baik dari sekolahan maupun perusahaan. Baik kelompok maupun per orangan. Lalu, berkat kerjasama dengan salah satu agensi wisata di Jakarta, Rian menghandle kunjungan wisata Mentari International School baik yang di Jakarta maupun Bintaro. Tahun 2025 ini adalah tahun kedua. Dalam satu kali kunjungan bisa 90 sampai 80 orang siswa.
Siswa-siswa tersebut selama 4 hari 3 malam mengikuti wisata yang sudah masuk dalam kurikulum sekolahnya tersebut. Mereka menginap di hotel bintang 4 di Bukittinggi, kemudian melakukan aktivitas di Danau Singkarak yang membentang antara Kabupaten Solok dan Kabupate Tanah Datar, menginap di Nagari Sumpu dan tinggal di rumah gadang (menyewa empat rumah gadang).
Sedangkan di Kotogadang diajak melakukan aktivitas desa, mengunjungi pusat kerajinan dan sejarah. Rian bertindak sebagai guide sendiri dan menyampaikan dalam Bahasa Inggris meski sebagian siswa yang mengikuti tour warga negara Indonesia—kecuali gurunya beberapa orang dari luar negeri.
Rian berharap nantinya wisatawan ke Kotogadang bisa bertahan agak lama (longstay). Wisatawan tidak sekadar mampir ke toko perak atau selfi dengan latar tulisan Kotogadang, balai adat dan masjid.
“Harus ada nilai tambah, jangan hanya lewat saja, atau 10 menit saja. Bagaimana bisa menahan wisatawan lebih lama tinggal, makan-minum, workshop, ada aktivitas menyulam untuk yang cewek dan cowok perajin perak,” kata Rian. (*)