Budiarman Bahar, Penanggung Jawab Minang Global, berbincang-bincang dengan Ferry Amsari, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand), Padang. Ferry Amsari sering menjadi narasumber dalam berbagai talk show di televisi dan kini memiliki podcast sendiri. Bersama dua ahli Hukum Tata Negara lainnya, Zainal Arfin Muchtar dan Bivitri Susanti, Ferry Amsari menjadi salah satu aktor film dokumenter “Dirty Vote” yang menjadi perbincangan publik menjelang Pemilu 2024. Hadir juga dalam bincang-bincang ini, Dr. Novrizal, seorang pakar Hukum Tata Negara dari FHUI.
Sebagai dosen di Unand, bagaimana pendidikan di Sumatera Barat sekarang ini?
Pengalaman saya, memperlihatkan pendidikan di Payakumbuh bagus, terlihat dari anak-anak Payakumbuh yang kuliah di Unand. Ini perspektif sangat personal karena pengalaman saya dan kenal dengan figur-figur yang berasal dari Payakumbuh. Kalau ditarik dari background sejarah, Tan Malaka dari sana. Pemikir republik yang luar biasa. Sepertinya tradisi pemikiran dari personal Tan Malaka, tapi lingkungan ikut shaping lahirnya pemikiran Tan Malaka. Kalau dilihat dari kawan-kawan selama berdialektika, rata-rata anak Payakumbuh punya cakrawala yang sangat bagus. Mahasiswa dari Payakumbuh juga. Sebagian besar sastrawan-sastrawan yang terkenal secara nasional berasal dari Payakumbuh, dan orang besarnya tinggal di Payakumbuh dengan tujuan berdialektika dengan masyarakat.
Mungkin juga karena ada landasan geografis karena dekat dengan kota besar seperti Pekanbaru, dan itu kota persinggahan, jadi berkembang agak maju. Menarik sekali melihat orang Payakumbuh berkembang secara pamikiran. Cuma karena selalu dia di ujung, di ujung itu menjadi pihan banyak orang-orang pintar merantau.
Bagaimana dengan wacana pembentukan Sumatera Tengah yang sebagian wilayah Sumbar akan masuk ke sana, dan ada bagian dari Riau yang masuk Sumbar? Bagaimana kalau ide itu terjadi, apa dampaknya terhadap Sumatera Barat?
Menurut saya itu lebih banyak politis daripada pengembangan daerah. Kalau masih bicara sekadar politis, sepanjang orang yang punya keinginan punya uang untuk mendesak daerah, karena mainnya di DPR. Biasanya itu selalu bicara transaksional buat UU Pemisahan Daerah. Ya, bisa saja kalau bicara kekuatan uang dan politik. Tapi kalau bicara pengembangan daerah belum terlihat gagasan Sumatera Tengah.
Karena itu kan sebagian orang Sumatera Barat dan Jambi yang figur-figur kenamaannya sulit menjadi pimpinan lokal di Sumatera Barat atau di Jambi dan mereka menganggap ini wilayah dengan kekuatan bisnis dan uang yang lebih besar daripada kota-kota lain, tetapi seringkali terabaikan. Dharmasraya itu pertumbuhan ekonominya salah satu yang kuat di Indonesia, bukan hanya di Sumbar, tapi di Indonesia. Makanya dulu daerah yang pertumbuhan orang kaya baru paling tinggi di Indonesia, ya Dharmasraya. Nah mungkin terabaikan itu, karena akses masih masalah, karena sangat jauh, dan pembangunan agak lambat, itu yang membuat mereka mulai berpikir kayaknya perlu deh Sumatera Tengah. Walapun secara sejarah, filosofi Sumatera Tengah itu agak rancu karena itu kan wilayah Jambi, Sumatera Barat, Pekanbaru, daerah perjuangan. Jadi memang ada isu itu, cukup luas, tapi tidak mendapat dukungan kuat kalau saya melihatnya.

Tetapi itu sudah ada media Sumbar, bahkan ada harian yang sudah memberitakan hal itu menuliskan “ bye bye” kepada beberapa wilayah Sumbar yang akan menjadi Sumatera Tengah.
Karena secara politik, mereka kebutuhan Sumbar untuk pendapatan asli daerah. Ada perkebunan, kan, perkebunan kelapa sawit, tambang juga. Nah itu mungkin yang membuat wacana itu mau digulirkan.
Menurut Pak Ferry, Sumbar ini apa yang potensial dikembangkan?
Ini pendapat pribadi ya, ambo tidak pernah yakin Sumbar seperti tetangga yang mengurus tambang dan pohon akan menjadi lebih hebat dari daerah sekitarnya. Sumatera Barat itu, tiga saja, dan itu harus serius. Satu, universitas atau pendidikan. Kedua pariwisata. Ketiga kuliner. Kalau ngurus tambang, waktu Pak Gubernur Irwan Prayitno mau masuk gas, segala macam, itu tidak pernah selesai-selesai, dan dampak ekonominya nggak besar-besar betul. Tapi kalau Sumatera Barat mengurus perguruan tingginya dengan baik, di daerah dengan tradisi pendidikannya luar biasa. Orang semuanya bersekolah di sana. Sebelum orang berpikir sekarang dengan teknologi, kayaknya kuliah di UI, enak deh. Sentral dari segalanya tapi kan orang di sekitar itu, belum mikir biayanya jauh, hidup terjangkau, pulang, kan. Orang berpikir mau sekolah di Padang, kenapa ini tidak dikembangkan agar orang tidak sekadar UI, ITB, UGM, mereka pilih dan ini kesempatan mengembangkan pendidikan.
Paling tidak, Sumbar bisa menjadi pusat pendidikan yang excellent.
Ini mohon maaf, kalau dibalik, istilah kami seven samurai, Ivy League Indonesia (sebutan untuk sekolah rangking teratas di AS, red) semua di Pulau Jawa. Tidak ada di luar Jawa yang mempunyai kualitas pendidikan seperti di UI, ITB, UGM. Kok ini nggak dianggap, mohon maaf ya, “bisnis, ini kan?” Orang mau sekolah, mau maju, mau terdidik, nggak pernah dikembangkan. Nggak boleh sebut kampus lain, isi kepala orang Andalas sendiri adalah bagaimana mau tiru UI, ITB jadi PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri – Badan Hukum), dan segala macam, tapi kan kami punya cara berpikir beda.
Saya kan anak kampung, Pak.
Dari mana asal Pak Ferry di Sumatera Barat?
Ambo urang pesisir, daerah miskin, merantau ke Muaro Bungo, Jambi. Daerah yang kayaknya orang berpikir seribu kali untuk sekolah ke Jawa dengan beban-beban biaya segala macam. Nah, lari ke Unand (Universitas Andalas) agar murah biaya. Ambo waktu itu masih Rp180 ribu, empat kali menulis artikel di koran lokal, sudah bisa bayar SPP. Tapi kalau tiba-tiba kampus di Sumatera membuat PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) untuk dibebankan ke mahasiswa, anak-anak pintar mana di kampung yang bisa dapat kesempatan? Beberapa hari yang lalu, ada ketua organisasi mahasiswa, organisasi ambo yang lamo. Katanya, “Bisa pinjamkan ambo uang nggak, Pak, untuk bayar UKT (Uang Kuliah Tunggal).” Kok ndak bisa bayar UKT, berapa UKT angku? Ternyata adiknya masuk kuliah. Dia lebih mengedepankan orang tuanya menyelesaikan adik-adiknya. Biar dia bertarung sendiri. Kalau sebesar itu saja, mungkin itu uang belanja per bulan anak-anak “Ivy League” di Indonesia. Itu part timer kerja. Jadi terbebani mereka. Jadi harus ada cara pandang lain kampus di luar Ivy League melihat dunia pendidikan dan bagaimana mengembangkannya. Itu PTNBH tapi bisnisnya gitu-gitu saja. Membuat café seperti ini nggak berani (tempat kami berbincang).
Selain itu, apa hambatan lain di bidang pendidikan?
Tradisi pendidikan kita buruk. Seorang dosen yang menjalankan fungsi penelitian, tetap harus mengajar, tetap harus melaporkan BKD (Beban Kerja Dosen). Yang BKD itu ampun-ampunan. Ambo jujur saja, Pak. Kalau tidak dibantu oleh adik-adik yang membantu organisasi penelitian ambo, nyerah ambo dengan BKD itu.
Memang itu konyol. Dulu tiap tahun dosen-dosen harus melapor kepada website tertentu, tiap tahun ganti itu. Jadi, besok ada lagi website, tolong perintah Kemenristek Dikti, dulu. Kini kan Kemendiktisaintek (Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi ). Dari namanya saja kita ndak punya wacana pendidikan, ganti-ganti nama.
Tiap tahun itu. Saya coba cari tahu, kok ada website beda-beda tiap tahun untuk melaporkan hal yang sama, data dosen kita. Oh ternyata pejabat-pejabat Dikti yang ikut pelatihan kepemimpinan membuat proyek dan diuji-cobakan. Itu sama terjadi di lembaga-lembaga lain, pimpinan-pimpinan lembaga ikut pelatihan, apa yang bisa dikembangkan, oooh kami punya wawasan, dalam presentasinya, diujicobakan. Nah buru-burulah dosen mengisi. Nanti ditegur oleh dekan, ‘tinggal Anda satu-satunya yang tidak mengisi,’ katanya. Dibilang tinggal satu-satunya, pening juga saya, menjadi masalah juga. Artinya dalam banyak hal awak banyak berbeda. Dimulai, begitu dosen meneliti, dikasih kesempatan, menelitilah, pulang sesudah itu baru mengajar. Selesai, baru mengajar. Kita, seluruh beban di tangan dosen. Bayangkan, beban sebanyak itu, Tunkin nggak dibayar-bayar. Bisa berbulan-bulan nggak dibayar. Disuruh pendidikan maju.
Saya pernah usul, sebenarnya, di Unand umpamanya, perlu mencari fakultas atau jurusan unggulan yang belum digarap di perguruan tinggi lain. Maksud saya jangan bersaing dengan UI, UGM, atau universitas lain yang umpamanya di bidang atau jurusan yang di sana sudah maju. Dulu saya pernah usulkan ke rektor Unand waktu saya bertugas di Melbourne untuk membuka fakultas perikanan, bekerja sama dengan sebuah universitas di Australia yang memiliki spesialisasi di situ. Mereka tahu bahwa potensi Tuna di Sumbar besar, dan ilmunya perlu dimiliki.
Kedua, Fakutas Olah Raga. Dulu Australia merasa tertinggal dalam olah raga. Kemudian mereka mengembangkan ilmu tentang olah raga, membuka studi sport science. Bahkan kemudian mengembangkan management olah raga sebagai bisnis, menghasilkan uang untuk negara. Melbourne itu sering menjadi penyelenggara international sport competition. Itu usul ambo ke Menpora dulu, dan pejabat tingginya sudah saya pertemukan dengan universitas yang memiliki fakultas itu. Tapi tidak ada realisasinya.
Ambo setuju itu. Kini wawasan kampus-kampus di luar seven itu, semua ingin ikut UI, UGM. Apa yang dilakukan UI, UGM, itu pula yang mereka lakukan. Dibuat pula fakultas yang sama. Tidak ada rencana kampus itu mau diapakan.
Menurut ambo ada kampus yang cukup pintar. Di Sumbar itu Unand saingan, UMP saingan. Apa fakultas yang tidak ada. Di antara yang tidak ada itu, apa kebutuhan masyarakat. Waktu itu, di tahun 2000-an, kebutuhan IT. Satu-satunya di Sumbar fakultas IT yang besar ada di swasta, UPI namanya, Universitas Putera Indonesia, di Padang. Jadi gurau kami waktu kuliah dulu, asal ada virus, kami bilang ini kerjaan anak UPI. Sampai sekarang masih bagus, termasuk yang maju. Maksud saya, bagaimana universitas berpikir mengembangkan dunia pendidikan.
Di bidang hukum, ada pelatihan yang perlu dikembangkan, yaitu bagaimana membuat draf perjanjian, kontrak internasional. Dulu ada seorang pejabat Departemen Pertambangan meminta kepada saya untuk mencarikan kerja sama pelatihan ini. Ia mengatakan kita lemah. Pertama orang kita kurang mau berdebat. Akibatnya, sekali dipatahkan, kurang berani berargumentasi. Tapi setelah saya dapat orangnya, ia sudah tidak di situ lagi.
Yaaaa, intelektual awak masih ‘gadang sarawa’. Maksud gadang sarawa itu, kalau mau melakukan sesuatu, dijatuhkan oleh orang, mundur itu.
Misalnya di Sumatera Barat yang harus dikembangkan, hukum laut. Kan ada wilayah teritori segala macam, sehingga ada yang istimewa. Sehebat-hebat UI yang ada di Depok ini, kalau permasalahan hukum laut mungkin baca dan pengalaman, diajak pemerintah.
Misalnya kasus Mentawai dengan turis asing, bisnis asing. Tidak ada yang serius mengembangkan itu. Jadi orang hukum, kalau hukum laut, terutama bicara bisnis berkaitan dengan warga negara asing terkait pariwisata, ngomong dong dengan ahli Unand. Ada ketakutan kita, itu bukan tren yang akan dipakai orang. Atau ketakutan kita, ini nggak ada duitnya. Padahal kan, pusat studi itu berkembang, tidak selalu berpikir duit dulu, duit akan datang kemudian kalau orang tahu kapasitasnya. Tapi yaitu, gadang sarawa.
Selain itu, ada yang perlu kita antisipasi ke depan, yaitu hukum siber (cyber law).
Point itu betul, Pak. Jangankan bicara hukum siber (cyber law), sekarang Angkatan Siber mau dibuat pemerintah. Masa nggak ada kampus yang mengajarkannya. Sebenarnya nggak bagus bicara dengan uda Izal ini (sambil menengok ke Novrizal di sebelahnya), nanti UI lebih dahuluan yang buat, mustinya Unand (Ferry tertawa).
Memang belum ada kampus yang bakal bicara keamanan siber yang lebih jauh.
Saya baru menyadari kebutuhan Hukum Siber itu sewaktu menjadi Staf Khusus Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang pertama (2018-2019). Tapi di UI sudah ada ahli hukum cyber, siapa namanya tuuuh… (bertanya kepada Novrizal)
Uda Edmon Makarim. Orang Padang juga. (Jawab Novrizal)
Pengusaha kita banyak, bagaimana mengajak mereka membantu membangun nagari di bidang pariwisata?
Ada kelebihan dan kekurangan Sumatera Barat. Kelebihannya, daerah yang mungkin satu-satunya yang punya seluruh elemen pariwisata. Gunung, danau, ada danau kembar segala, mau model Swiss ada, mau ke Belanda-belandaan ada di Bukittinggi.
Dulu Jan Pronk, mantan Menteri Belanda yang menangani IGGI (Inter Governmental Group for Indonesia), katanya konsep pariwisata di Buktitinggi paling lucu di muka bumi, katanya kepada saya. Saya ajak dia ke Benteng. Apa ini, kok banyak binatang. Kata saya, Benteng ini sekaligus jadi kebun binatang. Tertawa besar dia. Dari mana terlintas pikiran, aset budaya digabung dengan kebun binatang. Katanya, ketawa dia. Saya pikir ada benarnya juga. Secara budaya fokusnya itulah.
Kita punya semua, seluruh elemen pariwisata. Kelemahan dasar urang awak adalah tidak siap mengembangkan pariwisata dengan budaya. Kita itu tidak ada budaya melayani, sulit diskusi.
Jadi, tidak mungkin pariwisata tanpa perbaikan kultur dan mentalitas. Itulah tugas pimpinan untuk menyampaikan ke orang banyak. Target pariwisata apa, dan apa yang dibutuhkan. Pesisir selatan daerahnya luar biasa, pulau-pulau gugusannya jadi aset pariwisata, tapi perlu diajak orang bicara. Kultur yang rusak itu beradu pula dengan birokrasi yang bermasalah.
Saya punya kenalan, istrinya orang pesisir selatan, pengusaha Padang, gedungnya tinggi di dekat Citos (Cilandak Town Square, Jakarta). Ingin membuat hotel mewah di tepi jurang di pesisir selatan. Karena pengalaman apapun kegiatan internasional di Sumbar, hotel tidak memadai. Dulu ada Tour de Singkarak, waktu masuk di pesisir di mana nginap peserta internasional? Di kapal perang. Ditambat di laut pesisir itu.
Dia mau membangun hotel bagus di situ, maket dan peta segala macamnya diperlihatkan kepada saya. Luar biasa. Tapi ini gagal. Bilang ke istrinya, kalau tidak diajak oleh istrinya yang orang pesisir nggak mau dia. Repot sama orang Minang ini. Apa yang membuat gagal? Birokrasi awak tu, korup. Aset yang sudah dia beli, bayangkan sudah dibeli, ada tiga sertifikat di tanah itu. Kalau dua sudah salah, masih bisa dijelaskan lah. Tapi ini tiga.
Masalah birokrasi dan budaya itu pernah terjadi di Solok Selatan. Orang Qatar mau beli tanah untuk pariwisata, luasnya 300 ha. Karena Solok Selatan itu surga buat orang Arab. Mereka mau membangun bisnis. Tidak ada pilihan alternatif. Orang itu mau beli, tidak bisa, karena sebagian itu tanah adat. Jadi banyak hal negatif yang membuat pariwisata tidak bisa dikembangkan di Sumbar.
Novrizal: Adatnya juga sangat banyak.
Ferry Amsari: Pusat Studi Konstitusi dulu pernah mengusulkan agar Sumatera Barat membuat mapping Sumatera Barat dalam konteks bisnis.
Novrizal: Bisnis dan pertanahan itu.
Ferry Amsari: Iya, jadi dipetakan, misalnya daerah untuk industri, Kota Padang. Industri silakan masuk. Tidak akan ada masalah adat, selesaikan itu semua. Tapi ada wilayah adat yang tidak boleh disentuh industri. Kombinasikan dengan pariwisata. Jadi, orang hidup, adat bertahan. Jadi daerah-daerah yang hutan lindung yang tidak boleh disentuh, baik adat, industri tidak boleh disentuh atau apapun. Kita usulkan peta. Pendapat gubernur, ‘bagus sekali kajian ini, kita akan coba kembangkan’. Tapi sampai hari ini sudah sepuluh tahun kajian itu, tidak pernah terjadi upaya melakukan mapping Sumbar karena kita kan ada problematika, tanah, budaya.
Investor suatu waktu akan masuk, budaya akan hilang. Tapi kalau dikatakan budaya bisa menghambat perkembangan Sumbar, faktanya, iya. Karena orang takut masuk. Tapi bagaimana kok bisa bertemu titik equilibriumnya. Titik tengah yang bagus, lah. Supaya budaya dilindungi, pariwisata dan bisnis bisa masuk. Nah itu bagus penelitiannya, tapi herannya nggak ada yang berniat (melakukannya) karena otaknya memang tambang, tambang.
Contoh nyatanya, ada sebuah keluarga di Sumbar, punya tanah berhektar-hektar, tapi ndak jelas siapa yang punya. Jadi pernah punya ide, buatlah di sawah itu, café-café. Tapi, persoalannya itu tanah siapa, keuntungannya untuk siapa? Kini yang bersawah orang-orang kampung di situ, tapi bukan dia juga pemiliknya. Jadi, tidak jelas pemiliknya.
Iya, bagaimana sertifikatnya, belum batasnya di timur ada batang pisang, kini nggak ada lagi batang pisangnya.
Budiarman: Dalam salah satu wawancara ambo dengan Prof. Jurnalis Uddin bagian ke-2 (minangglobal.com), beliau juga menyinggung masalah itu dengan contoh di Sulit Air. Contohnya, Gunung Papan di Sulit Air, sebelah sini kita yang punya, tapi di balik Gunung Papan itu siapa yang punya. Tidak ada kejelasan (bukti) kepemilikkan. .
Novrizal: Sampai kini masih begitu, kan? Jadi itu masalah, kan. Salah satu contoh nyata, nggak bisa diapa-apakan.
Ferry Amsari: Sebagian, sebagian besar.
Budiarman: Tapi Prof. Jurnalis Uddin memberikan solusinya, yaitu harusnya datuak-datuak itu berembuk dulu sama-sama, karena itu kan tanah ulayat.
Dalam kasus lain, cara berpikir itu dilanjutkan (tanah pusako tinggi diterapkan ke pusako rendah). Ada keluarga sudah tinggal di propinsi lain dan orang tuanya sudah berbisnis di sana, banyak asetnya. Jadi, begitu orang tua meninggal, dibagi-bagi harta itu, disertifikatkan, tapi syaratnya tidak boleh dijual. Itu pesan mamak, katanya.
Salah seorang pewaris tanah itu sekarang sudah pusing juga karena harus bayar PBB dan segala macam urusan. Seharusnya kan bisa dia jual, supaya tidak menyusahkan, tapi sekarang beratnya di dia.
Ada anggota keluarga perlu uang, untuk studi umpamanya, tapi ternyata tidak boleh dijual. Harga mati. Lalu solusinya apa? Yang mau studi tadi pakai duit mana? Setelah keluarga merundingkannya, mereka yang menyediakan dananya.
Ferry Amsari: Jadi orang Minang itu, maju dalam berpikir, tapi kolot dalam bertindak.
Ada bagusnya, ada buruknya. Bagusnya yang akan mendominasi kehidupan tetap orang Minangkabau. Jadi tanah tidak dikuasai orang yang punya modal besar, kayak di Bali. Jadi seolah-olah budaya tumbuh, tapi sebenarnya yang tumbuh ekonomi orang lain. Buruknya, orang yang mau berkembang, ada konsep-konsep baru, sulit masuk karena kalau sudah tanah pusako tinggi, tanah adat, orang mau jual, mamak ini mau jual, begitu sudah dibeli, datang mamak baru. Kalau anda jual, kan sama mamak yang dulu, saya belum. Kayak tengkulak. Jadi disiplinkan konsep pertanahan itu, mana yang pusako tinggi.
Adat Minangkabau sudah ada solusinya. Misalnya tanah adat kaum bisa dijual kalau ada tiga kondisi misalkan, ada yang meninggal, bisa kita jual. Kalau ada gadis yang mau menikah, yang ketiga saya lupa.
Budiarman: Ada pendapat, tanah pusako tinggi itu boleh dipakai untuk orang sekolah.
Boleh, untuk menyelesaikan masalah. Nah, itu kalau sudah boleh dijual dengan kondisi-kondisi yang sah secara adat, kan dicatat, disertifikatkan. Nah ini, pikiran ini, tapi lebih secara kepentingan masing-masing pihak. Seharusnya di sanalah peran negara. Apa masalahnya tanah dijual. Ooooh sah secara hukum ada. Nah ini tidak ada perkembangan yang membuat perbaikan-perbaikan ke depan.
Novrizal: Tapi sebetulnya sudah banyak terjadi ya?
Ferry: Oooh, sudah terjadi di mana-mana. Mamak menjual tanah adat itu terjadi di mana-mana. Jadi, daripada dijual, lalu timbul konflik tidak berkesudahan, orang malas masuk. Harusnya negara hadir, mamak hadir, para datuk hadir. Tapi tidak terselesaikan sampai sekarang.(*)