Nama Prof. dr. Jurnalis Uddin, PAK., cukup dikenal di dunia pendidikan kedokteran di Indonesia. Pria kelahiran Sulit Air, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, tahun 1937, ini salah seorang pendiri Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi). Tahun 1968 Yarsi mendirikan sekolah kedokteran, atau Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, di Jakarta Pusat. Bagaimana liku-liku mendirikan Yarsi yang sampai sekarang sudah mencetak sekitar 8000 dokter itu? Berikut wawancara alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada ini dengan Budiarman Bahar, Penanggungjawab minangglobal.com.
Bisa diceritakan bagaimana awalnya Prof Jurnalis mendirikan Yarsi?
Jadi saya sebenarnya tidak punya cita-cita mendirikan sekolah, mungkin nasib saya begitu. Kan begini, waktu saya tamat sekolah 1956, mau sekolah ke mana? Pertanyaan itu bukan gurau, karena orang tua sudah tidak ada. Ibu saya meninggal waktu saya umur enam tahun, bapak saya meninggal waktu saya umur 10 tahun. Yang membesarkan saya yaitu kakak paling tua. Walaupun orang Sulit Air, tapi waktu zaman Belanda itu, saya di Muaro Kelaban. Itu dekat Sawahlunto. Waktu saya masuk SD jaman Jepang di Sulit Air, SMP di Solok, SMA di Padang, dan itu tidak ada yang ngurus. Kenapa saya bisa sekolah? Itu karena jasa kakak yang paling tua. Banyak sekali hal-hal, jalannya di luar logika. Begitu saya ke Jogya, tidak punya apa-apa, saya punya sepeda tua di Padang, saya bawa ke Jogya. Karena di Jogya punya sepeda sudah hebat itu. Dibawa naik kapal, dan dari Jakarta ke Jogya naik kereta api.
Nah, setelah selesai kuliah (1965), dokter yang lulus waktu itu wajib ke daerah. Waktu saya sekolah itu kurikulumnya tujuh tahun. Tapi nggak ada yang selesai tujuh tahun karena ujian-ujian waktu itu, semuanya lisan, nggak ada yang tertulis. Jadi untuk ujian di Jogya itu dulu antre. Jadi, bayangkan waktu angkatan saya itu ada 500-an nggak salah. Untuk ujian antre. Jadi nggak ada orang yang selesai tujuh tahun. Selesai saya tamat wajib ke daerah, nanti harus lapor ke Kemkes.
Di Kemkes berubah nasib saya. Saya tidak boleh ke daerah. Saya diminta mengajar ke (Fakultas Kedokteran) UI. Karena apa? Waktu di Jogya saya mulai mengajar di Anatomi. Saya dari 1961-1965 menjadi asisten dosen. Jadi sudah mengajar, jadi dosen.
“Kamu tidak usah ke daerah, mengajar di UI saja,” kata Menteri. Jarang orang seperti itu. Boleh dikatakan, kalau angkatan saya, saya satu-satunya seperti itu. Di UI itu kan ada kulturnya sendiri. Orang senangnya tentu sama-sama UI, jadi saya seperti apa di situ. Di UI ketika itu, di bagian ilmu-ilmu dasar banyak orang-orang keturunan Tionghoa. Waktu saya masuk itu, PKI sedang merajalela. Jadi ada Himpunan Sarjana Indonesia, ketua umumnya orang UI, Prof. Sukirno. Jadi waktu saya masuk UI, tidak ada yang mengopeni saya. Siapa ini? Nggak ada yang menyapa saya. Tapi karena perintah dari Menteri, mereka terima. Jadi, situasi tidak mendukung. Mereka mengira saya ini orang HMI.

Kenapa berubah situasi itu? PKI kan buat kesalahan dengan Gestapu. Mereka kan ingin mengkudeta negara. Nah kita tahu itu berakibat tidak baik bagi NKRI. Sesudah Gestapu itu saya mulai ditakuti orang, setelah itu mulai banyak yang menemani saya. Orang-orang keturunan Tionghoa itu banyak yang kabur. Pergi ke Belanda, ke Amerika. Jadi situasinya berubah. Jadi nasibnya tidak terbayang.
Waktu saya di UI, saya mulai mikir karena di Jakarta sudah ada Universitas Atmajaya yang punya fakultas kedokteran, juga ada UKI, Tarumanegara, Trisakti. Islamnya mana? Waktu saya tanya teman-teman yang lebih senior di UI, bagaimana kalau kita membikin kedokteran di sini? “Mana bisa?” katanya. “Lho, kenapa tidak bisa,” jawab saya. Tanya dulu yang di atas. Yang di atas siapa? Di Indonesia ini, setahu saya, kalau orang bertanya tentang kedokteran, orang datang ke UI. Jadi orang UI mau tanya sama siapa? Jadi situasi seperti itu, tidak ada yang bisa membayangkan kok bikin kedokteran, apalagi tidak punya duit. Kalau punya duit boleh juga kan. Ini tidak punya duit.
Jadi saya memulai kedokteran ini dengan background yang sangat berbeda waktu itu. Kebetulan PKI membuat kesalahan, dan Pak Harto took over. Tiap hari ada demo. Jadi tiap hari ada demonstrasi. Tujuannya mau menjatuhkan Bung Karno. Jadi situasi seperti itu membuat ide kedokteran itu bisa terwujud, jadi bukan dalam keadaan normal.
Jadi, dengan beberapa kawan dari FK UI, di sini ada foto dan namanya (Profesor Junalis menunjuk tujuh foto pendiri Yarsi, di antaranya Dr. Ali Akbar, yang waktu masih aktif di DPR). Yang dua adalah mahasiswa saya. Lima sudah meninggal, tinggal Yahya dengan saya.
Kenapa bisa? Situasinya tidak normal. Saya sudah diajak kawan-kawan, kita sepakat, tapi mau kuliah di mana mau bikin sekolah. Kuliahnya di FKUI ini, begitu. Jadi kita waktu itu, kebetulan dekannya Prof. Sjahriar Rasjad, sudah diganti Prof. Jamaluddin, secara tidak langsung mendukung saya. Jadi kita mendirikan di sana. Kantor yang pertama yaitu di kantor saya di FKUI. Mana ada orang berani buka begitu? Ada pegawai saya kan. Seperti saya bilang tadi, banyak orang Tionghoa yang tidak suka, tapi karena situasi politik berubah, mereka takut sama saya. Artinya mereka sungkan jadinya.
Jadi kita dirikan, ruang kuliahnya pakai FKUI, laboratoriunnya pakai FKUI, dan dosen-dosennya semua FKUI. Sudah pakai begitu lengkap dengan alat-alatnya segala macam, tidak bayar satu sen pun. Karena tidak ada kontrak sewa-menyewa, pakai saja. Saya dipanggil oleh dekan waktu itu, Prof. Djamaluddin, “Jurnalis, kamu baik-baik saja, ya.” “Iya Prof.,” jawab saya. Nah itu berjalan sampai tahun 1970.
Nama perguruannya apa waktu itu?
Yarsi. Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia. Kemudian nama Yarsi itu dipatenkan menjadi Yayasan Yarsi. Jadi karena tahun 1967 kita buka, orang menyangka Yarsi itu extension-nya UI.
Jadi mahasiswa saya itu ada anak menteri, anak jenderal, anak gubernur ada karena mereka merasa FKUI, bagus lah pasti.
Nah saya dan Pak Ali Akbar dekat dengan Cendana. Saya sering ke Cendana ketemuan dengan Pak Harto dan Bu Tien. Peletakkan batu pertama Yarsi oleh Bu Tien tahun 1968. Tahun 1967 walaupun ada pakai FKUI, saya sudah cek tanah. Dapat tanah di sini (kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat). Tanah ini dulu dikelola oleh DKI, dari proyek otoritas Cempaka Putih. Waktu itu tanah sawah, minus tiga meter dari jalan. Di belakang kita ada RS Islam, punya Muhammadiyah. Jadi kenapa saya berdekatan dengan RS (Muhammadiyah) ini, karena waktu saya cari tanah, di Jatibaru, kan dulu Kadaster namanya. Saya temui orang Muhammadiyah, kepalanya. “Pak dokter mau ngapaian?” (tanya Kepala Kadaster). “Saya mau cari tanah” jawab saya. “Lha, baru saja keluar dari sini dr. Kusnadi (orang Muhammadiyah). Dia juga mau cari tanah,” katanya. “Pak dokter kalau mau bikin fakultas dekat-dekat saja ya,” kata Kepala Kadaster tersebut.
Ide berdekatan karena itu. Dekat RS kan bagus untuk praktek mahasiswa. Nah, yang kedua tanah di belakang itu tanah darat, lebih tinggi dari sawah. Di depan sini (tempat kampus Yarsi sekarang, Jl. Letjen Suprapto) tidak menarik, karena jauh di bawah. Ke depan (tempat RS Muhammadiyah) lebih mahal dari belakang. Karena di depan ini kan lebar jalannya 20 meter, ini jalan protokol. Kalau sekarang ini nilainya per meter sudah Rp 100 juta. Di belakang, paling-paling Rp 30 juta.
Kita punya tanah, nggak punya duit untuk membangun. Kita kan harus menguruk dulu. Datang lagi rejeki saya. Waktu itu yang jadi Gubernur DKI Ali Sadikin. Dia punya proyek Kopro Banjir. Jadi semua sungai dikeruknya. Tiap hari puluhan truk bawa lumpur ke Bekasi. Saya cegat. Saya minta mereka membawa ke sini (lokasi tanah sawah yang dibeli Yarsi). Jadi ribuan truk mampir di sini. Sampai rata dengan jalan baru saya timbun dengan tanah merah satu meter. Jadi nggak punya duit, bisa punya tanah.
Tahun1968 kita sudah berpikir untk membangun. Banyaklah ceritera-cerita bagus datang. Ada yang mau bantu ini itu, kita tekad membuat master plan, dan kita minta Ibu Tien meletakkan batu pertama. Orang nggak percaya, kok saya dekat dengan Cendana, dan Ibu Fat (Fatmawawi, istri Bung Karno) masih hidup ketika itu, hadir juga di sini. Ada dua first lady. Tapi ternyata, setelah peletakkan batu pertama, satu sen pun tidak ada uang masuk. Sehingga tidak jadi pembangunannya. Tapi, saya sudah siap ada gedung-gedung, namanya Boukit, gedung untuk perkantoran, insinyur-insinyur, kemudian kita sepakat membangun gedung-gedung semi permanen untuk kampus. Ini dimulai dengan satu lantai. Sekarang di mana batu pertama Ibu Tien sudah tidak tahu lagi di mana karena kita sudah dua kali berubah. Terakhir sebelum gedung ini, saya punya 17 gedung di sini. Itu dibongkar semua menjadi gedung baru. Jadi nggak masuk akal ya.
Waktu itu Prof masih mengajar di UI?
Masih. Saya sudah minta berhenti tapi nggak dibolehkan. Waktu itu rektor UI Prof. Mahar Mardjono. Saya bilang, “Saya sudah nggak mungkin lagi mengajar di sini (UI), karena saya mengurus di sini (Yarsi).” “Nggak boleh,” katanya. Aneh juga, kan.
Jadi, akhirnya tahun 1979 saya dikeluarkan dari FKUI, tapi bukan diberhentikan, tapi dipindah ditugaskan di sini (Yarsi). Waktu itu kan ada Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta). Jadi saya dipindahtugaskan ke sini. Jadi saya masih jadi pegawai negeri. Status masih pegawai negeri. Dan untuk bisa kerja di swasta sebagai pemerintah, dan terpilih orangnya. Saya salah satunya. Nggak diminta pun, dipindah ke sini. Kata Prof. Mahar, “Sudahlah, kamu kerja di sana (Yarsi) saja.”
Pasti kawan-kawan di bagian saya itu, di anatomi (FK UI), tidak suka. Jurnalis “Kok nggak ada di sini.” Saya masih mengajar, mengajar segala macam masih, tapi waktunya sudah nggak di sana lagi, di sini. Jadi, nyambilah namanya. Jadi tahun 1971 saya sudah pindahkan semua ke sini. Banyak gedung-gedung permanen di sini saya bangun.
Waktu itu sepi di sini. Bunyi itu suara kodoknya nyaring. Jadi saya pagi ngajar di UI, siang ke Yarsi.
Jadi kita membangun dengan susah paya. Kita mulai dari awal betul dan kita berkembang.
Prof, waktu itu Atmadjaya kan sudah berkembang ada kedokteran. Apa yang membedakannya dengan Yarsi?
Tidak ada. Semua kurikulumnya dari negara. Jadi tahun 70 itu pemerintah mengirim dua orang untuk mempelajari bagaimana sistem pendidikan kedokteran di Amerika, kan juga ada swastanya. Di sana ada ujian negara. Jadi di AS, baik negeri maupun swasta, harus ada ujian negara. Nah, waktu itu namanya ujian E, dari Examination. Ada E1, E2, E3, E4, jadi ujian sekolah itu langsung ujian negara di Amerika. Nah, setelah kedua kawan itu kembali dari Amerika, diterapkanlah sistem itu, tapi untuk swasta, untuk negeri nggak. Jadi kita bilang, nggak adil, kenapa swasta diuji, kalau negeri nggak. Mereka menganggap kalau di negeri pasti anaknya hebat-hebat, swasta bodoh-bodoh.
Jadi dari awalnya sudah dibuat seperti itu. Tapi ini penting karena kedokteran menyangkut nyawa orang. Jadi, betul-betul orang yang punya kualifikasi bagus. Waktu itu juga ketentuannya kalau sudah sekian kali ujian nggak lulus, keluar. Jadi karena ujian negara itu, ada seleksi yang sangat ketat. Kita juga mendirikan asosiasi kedokteran swasta se-Indonesia. Salah satu pendirinya saya. Jadi Atmajaya, Trisakti, UKI bergabung dan dengan demikian kita ada forum yang menyuarakan suara swasta.
Dulu ada universitas-universitas swasta yang sama-sama berdiri dengan Yarsi tapi beberapa sekarang, menurut saya, UIC tertinggal. Apa kiatnya sehingga Yarsi dapat bertahan bahkan maju sampai sekarang?
Saya kira karena visi mereka tidak punya. Sekadar ada. UIC ada dua, yang di Jakarta dan Bogor. Yang di Bogor berjalan baik. Juga tentu sangat bergantung pada wawasan orang-orangnya ya, kalau kita di sini, kita standarnya tinggi karena kita sudah terbiasa mengurus mahasiswa yang pintar-pintar, yang tidak pintar jangan masuk. Kalau di sini kan ketat. Anak-anak yang nggak berhasil kita keluarkan walaupun sudah bayar mahal. Sampai sekarang masih begitu walaupun diprotes orang tuanya.
Prof, sekarang ini ilmu pengetahuan, bahkan teknlogi kedokteran, rumah sakit, bertambah maju. Saya lihat dari fakultas-fakultas di Yarsi ini, kelihatan Prof sudah mengantisipasi kemajuan zaman, ada Fakultas Informatika, Fakultas Ilmu Sosialnya sedikit, bisnis, hukum. Apakah itu memang merupakan visi Profesor untuk mengantisipasi kemajuan Itptek?
Sebenarnya Yarsi ini berdiri dari awal hanya Fakultas Kedokteran saja, nggak ada lain-lain. Cuma, setiap ketemu orang, kapan Yarsi bikin fakultas hukum, ekonomi. Saya membayangkan ke depannya, saya akan mendirikan Insitut Kedokteran, kesehatan begitu. Jadi, ada bidang yang hanya ada kaitan dengan kedokteran, kesehatan, mungkin keperawatannya, lingkungan.
Tahun 1989 itu saya didesak banyak orang. Yang susah saja bisa, masak bikin fakultas hukum tidak. Untuk hukum kan ruang kuliah saja dibutuhkan. Akhirnya saya mengalah juga, dan karena dunia saya kedokteran, saya tidak tahu teknik bagaimana mengurus non-kedokteran. Dari awalnya ada kesulitan di sana. Kita punya jurusan yang orang lain banyak tidak tahu, yaitu Library Science, dan akreditasinya A. Salah satu terbaik di Indonesa. Dulu kita punya kontrak dengan pemerintah, dengan Kementerian Kesehatan, pegawainya dikirim ke sini untuk ambil S1- nya.
Jadi perpustakaan itu suatu hal yang berkembang pesat. Dulu semua cetak, sekarang digital. Karena semua digital, boleh nggak anak-anak nyontek dari komputer? Sekarang ada AI, kan. Kita tanya apa saja ke komputer, jawabannya ada. Anak-anak buat skripsi, dia tinggal buat di situ saja. Jadi, kalau dosennya nggak baca digital, akan ditipu mahasiswa.
Dan ilmunya bisa kalah dari muridnya sendiri di ilmu sosial. Jadi artinya, dosennya juga harus banyak baca. Kalau di bidang saya kedokteran nggak bisa itu. Kita bisa tahu kalimat ini kalimat apa. Memang ada yang kita biarkan di S2, dia diuji dengan open book, jadi dia boleh baca. Tapi dia tidak boleh copy, copy paste tidak boleh, dia simpulkan sendiri. Bagaimanapun juga, kan dibaca, semoga dia mengerti. Tapi di ilmu sosial tentu agak berbeda.
Tapi ke depan, apakah perkembangan Yarsi ini akan tetap menjaga pola sekarang ini, ilmu sosialnya tidak begitu banyak?
Kampus ini dibuat hanya untuk menampung 10 ribu mahasiswa, di mana dua ribu graduate school, S2 dan S3, di mana delapan ribu undergraduate. Tidak mungin lebih dari itu. Indonesia ini sebenarnya, anak-anak yang bisa menikmati pendidikan tinggi itu sangat sedikit. Kalau dibandingkan dengan ASEAN, kita masuk yang rendah. Jadi usia 18-24 tahun sekolah pendidikan tinggi, Indonesia baru 35 %, Malaysia sudah 45 %, Thailand 51 %, Singapura 85%. Jadi, dari orang-orang yang kita bertemu di jalan berusia 18-24 tahun hanya 35 orang, sisanya tingkat SMA, SMP, SD atau tidak tamat SD. Untuk bisa meningkatkan kualitas orang Indonesia, kita membuka pintu lebih banyak, nah kemungkinan kita membuka kampus lagi kan mahal. Jadi yang kita pikirkan di Yarsi ini, kita akan buka programs distance learning. Belajar jarak jauh. Kita lebih menyiapkan diri untuk itu. Kayak di UT, Universitas Terbuka, mahasiswanya 500 ribu. Kita mau nanti seperti itu. (bersambung)