Minangglobal.com melakukan wawancara tertulis dengan Widha Chaidir, wanita Minang yang menjadi guru SMA di Melbourne, Australia. Widha mengajar Bahasa Prancis di salah satu sekolah di sana. Berikut wawancara dengan Widha Chaidir yang juga Ketua Ikawiria, perkumpulan masyarakat Indonesia di Melbourne, Australia.

Minang Global : Widha Chaidir, sebagai orang Minang, persisnya dari mana Anda berasal? Apa yang Anda ketahui tentang kampung Anda?

Widha : Saya terlahir dari ayah ibu yang berasal dari Kotogadang, sebuah desa cantik dan tenang di kaki Gunung Singgalang, dekat sekali dari Bukit Tinggi. Desa ini melahirkan beberapa tokoh nasional, seperti Haji Agus Salim, salah satu intelektual Islam sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia (mantan Menteri Luar Negeri Pertama Indonesia), Ruhana Kuddus (aktivis pers perempuan), Abdul Halim (mantan Perdana Menteri masa RIS,) Abdul Muis ( Sastrawan Indonesia), dan banyak lagi.

Orang-orang yang berasal dari Sumatera Barat menyebut dirinya orang Minang. Suku Minang merupakan suku ke tujuh terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah penduduknya. Orang Minang terkenal berkepribadian terbuka, ramah, mudah berteman/bergaul, cerdik dan biasanya memiliki pemahaman agama Islam yang cukup baik.

Selain berdagang, salah satu kultur/budaya yang sangat melekat dengan masyarakat Minang adalah merantau. Hal ini bisa saya buktikan sendiri misalnya, Desa Kotogadang tempat kelahiran kedua orang tua saya saat ini sangat lengang karena sebagian besar penduduk desa itu merantau. Banyak rumah-rumah yang kosong tanpa penghuni. Kalaupun berpenghuni, mereka bukan orang asli Kotogadang. Biasanya rumah-rumah yang kosong itu dititipkan kepada orang-orang dari desa-desa di sekitarnya untuk menjaga dan merawatnya. Pada malam hari suasananya cukup sepi karena memang tidak ada keramaian.

Hal ini sangat saya sayangkan karena di era digital seperti sekarang ini, sangat mudah untuk memperkenalkan, mempromosikan  dan memasarkan keindahan desa-desa di Sumatera Barat kepada wisatawan asing. Karena, menurut pendapat saya, alam Sumatera Barat tidak kalah indahnya kalau dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia dan bahkan dengan negara-negara lain seperti di Vietnam, Thailand, India, bahkan negara-negara di Eropa.

Minang Global : Bagaimana pengalaman Anda sebagai orang Minang  yang dilahirkan dan besar di rantau dan tinggal  lama di Australia? Bagaimana memelihara rasa sebagai orang Minang ?

Widha: Walaupun saya tidak dilahirkan di tanah Minang dan tidak pernah berkesempatan hidup untuk jangka waktu yang lama di sana, saya merasa darah Minang yang mengalir dalam tubuh saya cukup kental. Kedua orang tua saya masih menggunakan Bahasa Minang di rumah waktu kami masih kecil. Nenek, paman, bibi, dan sepupu dari kedua belah pihak ayah dan ibu saya semua masih berbahasa Minang kalau mereka bercakap-cakap. Jadi, saya cukup mengerti apa yang mereka bicarakan dan saya kira pengertian Bahasa Minang saya cukup baik walau saya tidak lancar berbicara dalam Bahasa Minang. Saya dan empat saudara sekandung yang lain dilahirkan di Jawa barat (Tasikmalaya dan Bandung) tapi setelah kami remaja/dewasa kami sering berkunjung ke desa tempat kelahiran ayah bunda kami di Kotogadang. Ibu saya pandai memasak, khususnya masakan Minang, seperti gulai itiak hijau yang menjadi ciri khas makanan asli Kotogadang. Sayangnya saya tidak pernah menyempatkan waktu untuk belajar dari ibu saya untuk memasaknya. Untung sekarang sudah ada YouTube dan Google jadi bisa belajar dari situ.

Di banyak negara yang sudah saya kunjungi, saya juga menemukan rumah makan Padang, seperti di Belanda, Australia, Amerika, Singapura, Malaysia, dll. Sebagai orang yang berdarah Minang saya cukup bangga melihat kenyataan itu, ternyata dari sekian banyak provinsi di Indonesia, Sumatera Barat dengan makanan khasnya rendang dan sate padang bisa ditemukan di mancanegara dan menariknya makanan Padang tersebut sangat digemari oleh orang-orang asing walau tentu saja rasanya tidak seautentik yang di Tanah Air. Jadi bagi orang Indonesia yang tinggal jauh dari Tanah Air tidak terlalu sulit untuk menikmati masakan Padang kalau mereka merindukannya.

Minang Global: Bagaimana Anda dan Masyarakat Minang di Melbourne memelihara rasa sebagai orang Minangkabau? Apakah ada perkumpulannya dan apa kegiatannya?

Widha: Selain saya, salah seorang abang saya juga merantau ke Australia tapi kami tinggal di dua kota yang berbeda.  Setelah hampir tiga puluh tahun tinggal di negara kangguru, keterikatan budaya Minang masih melekat cukup kuat dalam kehidupan kami. Kami masih suka menikmati  makanan khas Minang, khususnya sate Padang, dendeng balado, sayur kapau sambil mendengarkan musik dan lagu-lagu Minang.  Pada  acara-acara tertentu di Australia ini sering pula ditampilkan tarian-tarian atau atraksi yang berasal dari Sumatera Barat.

Populasi masyarakat Minang di kota tempat saya tinggal cukup besar dan pada tahun 2006 dibentuklah IKMSM (Ikatan Keluarga Minang Saiyo Melbourne), negara bagian Victoria, khususnya di Kota Melbourne. Namun sebelum itu komunitas Minang yang berasal dari Sulit Air sudah terbentuk dan berkembang menjadi kelompok masyarakat Minang yang lebih besar.  Kegiatan IKMSM cukup beragam, di antaranya pengajian bulanan, piknik keluarga pada musim panas, kegiatan sholat tarawih pada bulan Ramadhan, perayaan halal bil halal di saat Idul Fitri, pengumpulan dana guna menolong anak yatim di sekitar Sumatera Barat, dll.

Sebagai orang yang hidup di perantauan, berkumpul dengan dunsanak sekampung terasa sangat menyenangkan, apalagi bisa bercakap-cakap menggunakan Bahasa Minang yang saya pelajari selama tinggal di Australia, menikmati makanan khas Minang yang disediakan oleh bundo kanduang, mengenang sambil bercerita-cerita tentang kampung halaman, sungguh saat yang banyak ditunggu oleh para anggota IKMSM.

Minang Global: Bagaimana kehidupan berbagai etnis asing dan Indonesia di Melbourne, Victoria, serta interaksi komunitas Minang di sana?

Widha: Walaupun lebih dari 90% penduduk Australia adalah bangsa kulit putih, tapi di sini terdapat lebih dari 270 suku bangsa dari berbagai etnik yang datang sebagai imigran. Salah satunya adalah bangsa Indonesia dan tentunya di antaranya suku Minang. Di Kota Melbourne terdapat lebih dari 90 organisasi masyarakat Indonesia yang berasal dari kelompok kedaerahan, pendidikan, keagamaan dan sosial. Kami beruntung karena perwakilan dari pemerintah Indonesia yang terdapat di sini, Konsul Jenderal RI merangkul semua organisasi masyarakat Indonesia secara aktif dan sepanjang tahun tidak pernah sepi dari berbagai kegiatan yang berbeda-beda. Setiap ormas memiliki visi misi yang berbeda tapi hampir sama, di antaranya adalah memperkenalkan budaya dari beragam pulau-pulau di Indonesia kepada masyarakat asing, misalnya IKMSM memperkenalkan budaya minang, SJV (Sedulur Jawa Victoria) memperkenalkan budaya Jawa, Angin Mamiri (Sumsel), Maluku Basudara (Maluku), dll.

Dalam acara Festival Indonesia yang diselenggarakan setiap tahun, Minang Saiyo selalu berpartisipasi dengan menampilkan tarian-tarian yang dibawakan oleh beberapa grup tari lokal yang cukup handal dan stand-stand makanan pun dibuka untuk memberi kesempatan kepada pengunjung festival menikmati kuliner dari Indonesia, termasuk makanan Padang seperti sate, rendang, nasi kapau, soto Padang, dll. Terharu melihat penuhnya pengunjung yang hadir di acara itu.

Selain festival yang diadakan oleh masing-masing etnik, pemerintah lokal Victoria juga menyelenggarakan acara tahunan “Multi Cultural Day” dengan mengundang seluruh etnik dari berbagai bangsa yang ada di negara bagian ini untuk berpartisipasi memamerkan kebudayaannya di acara itu.

Walau sudah lebih dari separuh hidup saya tidak tinggal di Indonesia, saya tetap merasa sebagai orang Minang karena bagaimanapun juga akar dari kehidupan saya berasal dari sana. Kalau berkumpul dengan kakak/adik kami masih sekali-sekali berkaraoke lagu Minang dan kadang-kadang menggunakan ungkapan dalam Bahasa Minang yang dulu sering dipakai oleh ibu kami, seperti ondeh mandeh’ ba a ko dan banyak lagi. Saya bangga terlahir sebagai orang Minang dan bisa memperkenalkan budaya Minang di mancanegara.(*)


KETERANGAN FOTO: Masyarakat Indonesia di Melbourne, Australia.

Penulis: Budiarman

Editor: Budi Santoso

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan