Pekerjaan sebagai pemain sandiwara, dulu dikenal juga dengan nama tonil, merupakan pekerjaan yang masih sulit diterima masyarakat Minangkabau di awal-awal abad 20. Apalagi kemudian karena ingin tampil di depan publik yang lebih luas, pekerjaan itu membawa wanita merantau yang menjadi tradisi kaum pria saja.
Seorang wanita asal Minangkabau yang bernama Suratna, dipanggil Ratna, melanggar pantangan itu. Ratna menjadi aktris panggung sandiwara dan film, bahkan kemudian menjadi sutradara film di tahun 1930-an.
Ratna kemudian lebih dikenal dengan nama Ratna Asmara setelah menikah dengan AndjarAsmar. Ia adalah wanita Indonesia pertama yang menjadi sutradara film. Namun, karena kelemahan kita di dalam mengelola arsip-arsip film maka tidaklah mudah menemukan karya-karyanya. Ratna Asmara betul-betul berada di tepi panggung sejarah perfilman Indonesia, ia nyaris tenggelam dalam sejarah perfilman kita.
Ratna Asmara lahir tahun 1913 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Pada tahun 1930-an, berdasarkan para peneliti yang tergabung dalam Kelas Liarsip yang mencoba mengangkat peran dan karya Ratna dalam sejarah perfilman Indonesia, pada mulanya Ratna bersama saudarinya, Suhara, membentuk grup sandiwara bernama “Suhara Opera.”
Bersama Suhara, Ratna membawa kelompok Suhara Opera melakukan pementasan di beberapa kota di Jawa. Sebuah keberanian untuk merantau karena profesi, sesuatu yang biasanya dilakukan pria Minang.
Menurut Umi Lestari dari Kelas Liarsip, ketika tiba di Gombong, Jawa Tengah, Ratna berjumpa dengan Abbisin Abbas, dikenal dengan nama Andjar Asmara, yang juga orang Minang. Andjar adalah seorang penulis naskah drama pada kelompok sandiwara Dardanella.
Mereka menikah tahun 1931. Suhara Opera dilebur ke dalam Dardanella, dan mereka mengikuti Tour d’Orient (1935), sebuah tur Dardanella lintas benua. Ratna berperan, sebagai pemain, penyanyi dan penari.
Ketika rombongan tiba di Bombay , India, Andjar dan Ratna memutuskan untuk pulang ke Hindia Belanda. Pada akhir 1930-an Andjar Asmara mendirikan kelompok Bolero dan Ratna menjadi bintangnya.
Perannya di dunia perfilman dimulai ketika Java Industrial Film mengontrak mereka untuk membuat film Kartinah (1941). Ratna menjadi bintang film Kartinah yang disutradarai suaminya, Andjar Asmara. Film ini disebut sebagai film perang pertama di Indonesia dengan membuat adegan membakar 50 rumah.
Ratna membintangi beberapa film Andjar lainnya, yaitu Noesa Penida dan Ratna Moetoe Manikam yang merupakan film percintaan. Pada tahun 1948 Ratna membintangi Djauh di Mata.
Ratna Sebagai Sutradara
Film Sedap Malam adalah salah satu dari empat film yang disutradarainya pada dekade 1950-an. Ketika itu Djamaluddin Malik sebagai produser perusahaan film Persari meminta Ratna untuk menyutradarai film Sedap Malam (Djamaluddin Malik dikenal sebagai Bapak Industri Perfilman Indonesia).
Sedap Malam adalah film tentang pekerja seks pada masa penjajahan Jepang, sebuah tema yang sensitif dan menyadarkan orang akan sisi buruk penjajahan Jepang. Film ini mendapat apresiasi dan mendatangkan banyak penonton.
Kemudian pada 1951 ia menyutradarai dua film berjudul Musim Bunga di Salabintana dan Dr. Samsi (1952) yang menjadi karya filmnya yang dikenang. Pada dekade 1950-an itu juga, Ratna merilis film Terang Bulan di Malaya bersama perusahaan film Malaya.
Tidak sampai di situ saja, Ratna juga mendirikan Ratna Films (1953) dengan filmnya Nelajan dan membuat film Dewi dan Pemilihan Umum (1954).
Umi Lestari dalam penelitiannya menemukan bahwa Ratna adalah aktris serba bisa dalam produksi film. Ia bisa menjadi apa pun dalam produksi film. Ratna mampu menjadi pelatih akting, koreografer, make-up dan pakaian. Semua yang dilakukannya merupakan bekal penting bagi Ratna untuk menjadi produser film.
Dunia film yang ketika itu sangat didominasi pria, membuat karya-karya Ratna sebagai sutradara tidak mendapat perhatian. Bahkan Umi dalam penelitiannya menemukan bahwa media massa mengaburkan kemampuan Ratna dan dianggap itu bisa dilakukannya karena memanfaatkan suaminya. Bahkan ada media masa yang menyoroti sisi rumah tangga Ratna daripada kemampuannya sebagai sutradara. (Dari berbagai sumber)
Sumber foto: Wikipedia
Penulis: Budiarman