Pernikahan Agus Salim dengan Zainatun Nahar dikaruniani sepuluh orang anak. Sejak menikah tahun 1913, dalam rentang 25 tahun, istri Agus Salim melahirkan 10 orang anak. Agus Salim sejak muda memang mendambakan punya rumah tangga dengan keluarga besar.
Kesepuluh anaknya, sesuai urutan, adalah Theodora Atia (panggilan Dolly), Jusuf Tewfik Salim (Totok), Violet Hanifah (Yoyet), Maria Zenobia (Adek), Ahmad Sjewket Salim, Islam Basari Salim, Abdul Hadi (meninggal ketika masih kecil), Siti Asiah, Zuhra (meninggal ketika masih kecil) dan Mansur Abdur Rahman Ciddiq.
Ahmad Sjewket Salim meninggal sebagai kusuma bangsa dalam pertempuran dengan Belanda di Lengkong. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tangerang.
Anak-anak Agus Salim sejak masih bayi sudah diajak bicara dalam Bahasa Belanda, sehingga bahasa ini seolah menjadi bahasa ibu bagi mereka. Boleh dibilang sampai usia 3 atau 4 tahun mereka hanya menggunakan Bahasa Belanda dalam percakapan sehari-hari di rumah.
Agus Salim tidak menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal. Dia lebih memilih mendidik sendiri anak-anaknya bersama istrinya.
Mengapa Agus Salim mendidik anak-anak sendiri di rumah (istilah sekarang homeschool)? Bisa jadi jawabannya pengalaman Agus Salim sendiri selama sekolah mulai ELS hingga HBS. Bisa jadi karena pengalaman diskriniatif yang dialami Agus Salim selama sekolah. Bagaimana pun, meski Agus Salim cerdas, tetapi saja dia dipandang inlanders, pribumi, orang jajahan.
Agus Salim ingin bangsanya jangan hanyut atau menggantungkan pada pola pendidikan Barat atau Belanda.
Soal tidak bergantung pada pendidikan Belanda ini sebenarnya sudah ditunjukkan Agus Salim ketika di awal pernikahannya dengan mendirikan sekolah dasar HIS. Waktu itu Agus Salim sudah mengundurkan diri bekerja di kantor Pekerjaan Umum (Bureau voor Openbare Werken) milik Belanda dan kembali ke Kotogadang.
Agus Salim mendirikan HIS dari bawah. Dia mengajar dan mengelola sendiri. Bahkan untuk mencapai sekolah yang didirikan ini dia harus berjalan kaki dari rumah sewanya di Bukit Tinggi ke Kotogadang pulang pergi (Agus Salim tetap bertahan pada prinsipnya untuk tidak tinggal di rumah istrinya yang sudah disediakan mertuanya).
HIS Agus Salim berjalan lancar. Siswanya banyak dan semuanya penduduk Kotogadang. Namun tigak tahun kemudian Agus Salim meninggalkan Kotogadang kembali ke Jawa untuk kemudian masuk dunia pergerakan. Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam.
Pikiran lain Agus Salim yang agak progresif kala itu adalah tentang pendidikan untuk wanita. Ini sudah dimulai Agus Salim pada istrinya. Di benak Agus Salim, dengan wanita mempunyai kepandaian atau pengetahuan, akan bisa mendidik dan mengajar anaknya sendiri.
Agus Salim menganjurkan agar wanita mendapat pendidikan bukan saja pengetahuan umum namun juga keterampilan, budi pekerti dan moral yang tinggi, sebagaimana pendidikan yang diterima oleh pria.
Soal pendidikan ke anak-anaknya, Agus Salim selain sudah menjadikan Bahasa Belanda sebagai percakapan sehari-hari, anak-anaknya menerima pelajaran membaca, menulis dan berhitung sejak dini. Semua pelajaran diberikan secara santai. Sementara pelajaran budi pekerti dan sejarah disampaikan saat ngobrol dan melalui cerita.
Agus Salim mempunyai metode sendiri yang merangsang anak-anaknya untuk banyak bertanya. Anak-anaknya tidak boleh puas hanya dari yang didengar dan dibacanya.
Begitu anak-anak sudah bisa membaca, Agus Salim mewajibkan mereka membaca buku-buku yang sudah disediakan di rumah. Dolly, anak tertua, berkisah, pada usianya yang sangat muda dia sudah melahap buku-buku Nick Carter, Lord Lister dan sebagainya.
Adapun Totok menceritakan, “Kami memang hampir selalu di rumah, tak banyak punya teman sebaya. Lalu apa yang dapat dilakukan kecuali membaca dan membaca?”
Hasil didikan Agus Salim pada anak-anaknya ini tidak mengecewakan. Dilatarbelakangi hubungan kasih sayang di rumah dan suasana akrab, serta teladan beribadah, anak-anak Agus Salim cukup menonjol dibanding anak sebayanya. Betapa tidak, di usia 5 – 6 tahun mereka sudah bisa membaca, menulis, berhitung, dan fasih Bahasa Belanda.
Bibsy mengenang, “Sesungguhnya, apa yang diajarkan oleh Paatje (sebutan untuk ayah) dulu adalah agar kita belajar sendiri, selalu berusaha memecahkan persoalan atau mencari jawaban atas pertanyaan dengan usaha sendiri, sampai-sampai sebagai anak kecil telah diajari menggunakan ensiklopedi.”
Bibsy juga pernah menanyakan kepada ayahnya terkait tidak disekolahkan ke sekolah formal. Jawaban Agus Salim, “Segala sesuatu yang penting untuk kehidupan ini, Patje toh dapat di luar sekolah.” Di kemudian hari Bibsy membuktikan ucapan ayahnya, sebab banyak persoalan dalam hidupnya dapat dipecahkan dengan cara berpikir positif sebagaimana yang sering dianjurkan oleh ayahnya.
Mohamad Roem, dalam tulisannya, menyatakan kekagumannya pada model didikan Agus Salim pada anak-anaknya.
Tentu saja di lain pihak banyak yang menentang prinsip Agus Salim ini. Mereka seolah memandang rendah Agus Salim karena tidak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal. Anak-anaknya tetap dipandang anak-anak yang tidak makan sekolahan. Bahkan kakak Agus Salim, Joko Salim, berulangkali mendorong Agus Salim untuk menyekolahkan anak-anaknya, namun tanpa hasil.
Anak-anak Agus Salim di kemudian hari bekerja di banyak bidang pekerjaan. Misalnya Islam Salim, meniti karir di militer. Islam Salim memulai kemiliteran di Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan terus berlanjut ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR, embrio TNI) yang dibentuk Pemerintah Indonesia pada 5 Oktober 1945. Islam Salim mencapai tingkat tertinggi letnan kolonel. Dia pernah bertugas menjadi atase militer RI di Peking.
Sementara Bibsy mempunyai pengalaman bekerja di berbagai kantor. Belakangan aktif di bidang terjemahan, bermodal kemampuan menguasai Bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jepang.
Sedangkan Taufik Salim, berbekal kemampuan berbahasa asing, sempat bekerja di perusahaan surat kabar. Kemudian menjadi tenaga penerjemah di PT Nurtanio. Taufik Salim, meski tidak mempunyai ijazah pendidikan formal, namun mempunyai kemampuan Bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman.
Ihwal kepekaan anak-anak Agus Salim pada bahasa ini tentu menurun dari bakat Agus Salim yang dapat cepat menyerap berbagai bahasa. Karena pelajaran bahasa asing ini sudah dibiasakan sedari kecil. Mereka sehari-hari di rumah menggunakan Bahasa Belanda, kemudian ditunjang dengan bacaan berbahasa asing lain.(*)
Penulis: Budi Santoso