Orkes Gumarang adalah grup musik yang membawakan lagu-lagu Minang dan popular di era 1950-an dan 1960-an.
Seingat saya, di awal-awal 1960-an, saya pernah diajak menyaksikan pertunjukan Orkes Gumarang di halaman salah satu gedung di kawasan Jalan Thamrin sekarang.
Untuk pertama kali saya menyaksikan personil Gumarang yang dipimpin Asbon Madjid menyanyikan lagu-lagu Minang dan mendengar langsung satu-satunya penyanyi wanita Gumarang, Nurseha, yang populer karena menyanyikan Ayam Den Lapeh ciptaan Abdul Hamid. Sebelumnya lagu itu dan lagu-lagu Gumarang lainnya sering saya dengar melalui radio karena sangat populer di masa itu,
Para pengamat musik modern mengakui Orkes Gumarang merupakan salah satu pelopor musik modern di Indonesia, paling tidak pelopor musik Minang modern.
Menurut Dean Stales, Zusmelia dan Zulfa, dalam papernya Orkes Gumarang: Pelopor Musik Minang Modern Tahun 1953-1980, Gumarang didirikan pada 1953 oleh anak-anak muda Minang di rantau dan tiga kali berganti pemimpin, yaitu Anwar Anif, Alidir dan Asbon Madjid.
Pada 1954, lagu-lagu Orkes Gumarang sudah disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Sebuah kebanggaan tersendiri bilamana sebuah band seperti Orkes Gumarang bisa tampil dalam sebuah acara di RRI yang disiarkan langsung. Untuk tampil di RRI mereka harus melalui sebuah tes yang ketat.
Salah satu faktor yang membuat Gumarang memiliki nama besar adalah karena seringnya tampil di RRI. Memasuki studio rekaman membuat Gumarang dengan lagu-lagu dikenal lebih luas, dimulai dari Studio Rekaman Lokananta (Solo) pada masa kepemimpinan Alidir, dan kemudian rekaman dengan Irama (1956) pada masa kepemimpinan Asbon.

Melalui piringan hitamnya, selain Ayam Den Lapeh, Gumarang juga mempopulerkan Laruik Sanjo yang kemudian menjadi judul film yang disutradarai Usmar Ismail (1960). Ayam Den Lapeh juga difilmkan dengan sutradara H. Asby dan Gondosubroto, Asbon bersama orkesnya mengisi ilustrasi musiknya.
Dalam buku Orkes Gumarang: Kisah Syaiful Nawas, ditulis oleh Fadli Zon, bahwa konsep musik yang dipakai Gumarang ketika itu adalah aliran musik berirama Latin, mengikuti Xavier Cugat, musisi Spanyol yang sedang popular masa itu dengan musiknya berirama latin.
Denny Sakrie dalam blog-nya mengevaluasi kenapa musik Latin bisa cepat diterima di Indonesia. Menurutnya musik Latin dan musik Melayu memiliki kesamaan yaitu bisa membius dan melebur pendengarnya untuk bergoyang dan menari “dengan ritme repetitif yang diperkuat aksentuasi perkusif”.
Theodore KS berpendapat “musik Minang memang mudah dipadukan dengan musik Amerika Latin.” Suara alat musik Minang seperti saluang dan talempong mudah diasosiakan sebagai musik Amerika Latin. Orkes Gumarang yang dipengaruhi musik Latin mulai menggunakan alat musik modern seperti piano, vibraphone dan konga, meskipun pada mulanya masih suka menyewa peralatan khususnya piano.
Di dalam bukunya, Fadli Zon menceriterakan bahwa maestro biola kita, Idris Sardi, menilai keberhasilan Orkes Gumarang dengan lagu-lagunya yang disukai publik Indonesia disebabkan karena memiliki nuansa romantik-energik. Selain itu memakai bahasa yang mudah diucapkan, dan dimengerti, serta masuk di perasaan.
Idris Sardi mengakui bahwa lagu-lagu Gumarang disukai etnis lain, termasuk orang Jawa, bahkan lintas generasi sehingga Orkes Gumarang menjadi “penyatu rasa, penyatu bangsa melalui lagu-lagu yang dibawakannya.”
Selain itu, musik berirama Latin ini bisa cepat populer karena Bung Karno pada masa itu melarang musik Barat yang disebutnya sebagai musik “ngak ngik ngok.” Bung Karno dikenal pemimpin yang menyintai kesenian Indonesia, sering menampilkan kesenian Indonesia di Istana, terutama saat menerima tamu negara, termasuk mengundang Orkes Gumarang untuk tampil di Istana Negara.
Personil Gumarang, seperti artis lainnya yang pernah tampil di Istana, undangan ini membanggakan mereka. Selain itu, Gumarang pernah juga diminta tampil di Istana Wakil Presiden Bung Hatta. Gumarang dengan personilnya sudah bisa mengorganisir pertunjukan di berbagai kota di Indonesia.
Orkes Gumarang sejak tahun 1955 dipimpin oleh Asbon Madjid dan membawa Gumarang mencapai puncak ketenarannya. Berbagai personil Gumarang datang dan pergi silih berganti, dan saya masih mengingat Januar Arifin, Anas Jusuf, Juni Amir, Ismet, Sjaugie Bustami dan Nurseha yang bergabung sejak 1956.
Lagu-lagu yang sering terdengar di RRI aantara lain Jiko Bapisah dan Laruik Sanjo (ciptaan Asbon), Yo Baitu ciptaan Syaiful Nawas, Takana Adiak ciptaan Januar Arifin, dan paling sedikit ada 60-an lagu yang pernah dinyanyikan Orkes Gumarang, seperti Baju Kuruang, Kok Upiek Lah Gadang, Bareh Solok, Simpang Ampek, Danai Sansai, Marina, dll.
Orkes Gumarang di Panggung Internasional
Orkes Gumarang juga tampil di panggung internasional. Menurut Syaiful Nawas lagu Ayam Den Lapeh, tidak hanya populer di Indonesia, tetapi juga popular di Malaysia dan Vietnam.
Bukan lagunya saja yang dikenal di negeri orang, tetapi Asbon Madjid juga bersama beberapa orang personil Gumarang pada1964 tampil pada New York World Fair dan berkeliling Amerika Serikat selama 11 bulan. Kunjungan internasional mereka dilanjutkan ke Eropa dan Gumarang juga tampil pada EXPO Osaka 1970.
Majalah Rolling Stone Indonesia dalam Edisi nomor 32, Desember 2007, menempatkan Album Orkes Gumarang berjudul Lagu Gumarang Jang Terkenal (1960) sebagai satu dari 150 album terbaik sepanjang masa.
Selain itu pada edisi tersebut Rolling Stone Indonesia juga menempatkan lagu Ayam Den Lapeh pada urutan ke 79 dari 150 lagu Indonesia terbaik sepanjang masa. Lagu-lagu Orkes Gumarang menjadi satu-satunya lagu berbahasa daerah yang masuk dalam daftar terbaik majalah musik tersebut.
Hendra Makmur (Langgam.id) berpendapat “Bila ada musisi yang konsisten membawakan lagu-lagu berbahasa daerah dan dicatat dalam tinta emas musik Indonesia, hanya Gumarang-lah jawabnya.” (*)
Keterangan foto: (Atas) Asbon Madjid, (tengah) salah satu cover Orkes Gumarang.
Penulis: Budiarman Bahar